Showing posts with label Hukum Perdagangan Internasional. Show all posts
Showing posts with label Hukum Perdagangan Internasional. Show all posts

Krisis Kedelai dan Hukum Internasional

Tuesday, June 10, 2008

by: M. Ajisatria Suleiman

Tidak banyak masyarakat yang mengaitkan krisis kedelai yang melanda Indonesia beberapa waktu lalu dengan sistem hukum internasional yang berlaku. Padahal hukum internasional di bidang perdagangan produk pertanian dewasa ini telah menjelma menjadi suatu regulasi yang sangat kompleks. Hukum internasional tidak lagi menjadi urusan para diplomat saja namun harus menjadi perhatian seluruh lapisan masyarakat. Berbagai pengaturan internasional ternyata berdampak langsung bagi kerugian petani kedelai dan produsen tahu-tempe di Indonesia.

Salah satu penyebab dasar krisis kedelai ini adalah ketergantungan yang sangat besar terhadap kedelai impor. Ketika harga kedelai di pasar komoditi dunia naik, Pemerintah Indonesia tidak kuasa menahan kenaikan harga kedelai di dalam negeri (Kompas, 17/01/08). Ketergantungan yang berlebihan terhadap produk impor ini sudah disadari Pemerintah membahayakan ketahanan pangan.

Dari kebutuhan kedelai nasional sekitar 1,8-2 juta ton, sekitar 60 persen dipenuhi dari impor. Produksi kedelai domestik terus mengalami tren penurunan, bahkan pada tahun 2003 produksinya hanya 671.600 ton. Bandingkan dengan tahun 1992 yang mencapai 1,8 juta ton (Sumber: Departemen Pertanian RI). Turunnya gairah petani untuk menanam kedelai tidak lain dipicu oleh masuknya kedelai impor dengan harga yang sangat murah.

Mengapa ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor menjadi sangat besar? Mengapa kedelai impor dapat masuk ke Indonesia dengan harga yang sangat murah? Jawabannya dapat dikembalikan kepada perubahan sistem pertanian dunia yang mengalami perubahan signifikan dengan berlakunya Perjanjian Pertanian World Trade Organization (WTO) yang disahkan pada tahun 1994. Indonesia sendiri meratifikasi perjanjian tersebut pada tahun yang sama.

Ketidakadilan Perjanjian Pertanian WTO
Sistem perdagangan yang diatur dalam Perjanjian Pertanian WTO dikritik oleh banyak pihak sebagai suatu ketidakadilan global (global injustice) yang hanya mementingkan kepentingan negara maju, termasuk pada sektor pertanian.

Perjanjian Pertanian WTO yang merupakan pondasi berlakunya liberalisasi pertanian sebenarnya memiliki tiga pilar utama: akses pasar (market access), dukungan domestik (domestic support), dan subsidi ekspor (export subsidy). Namun demikian, konsep liberalisasi ini hanya terfokus pada pilar pembukaan akses pasar yang menyebabkan kemudahan impor dan tarif bea masuk yang sangat murah. Hal ini yang kemudian memicu serbuan impor dan penurunan harga impor dari negara maju.

Sementara itu, pilar subsidi ekspor dan dukungan domestik diabaikan. Padahal melalui dua pilar inilah, negara maju melakukan subsidi yang berlebihan kepada petani mereka yang memiliki lahan yang lebih luas dan berpendapatan tinggi. Dengan pembukaan akses pasar yang tidak diikuti dengan penghapusan subisdi negara maju, pebisnis dari Amerika Serikat misalnya, dapat mengimpor kedelai yang umumnya hasil rekayasa genetika (genetically modified foods) dengan subsidi besar-besaran dari pemerintahnya sehingga menghasilkan harga yang sangat murah. Produk pertanian dari negara berkembang tidak akan mampu menyainginya.

Selain itu, perlakuan khusus (special and differential treatment) yang diperoleh negara berkembang ternyata dianggap tidak efektif dan kurang fleksibel (Apriantono: 2007, 454). Ekspor produk pertanian dari negara berkembang pun masih terbentur perjanjian WTO lainnya yaitu mengenai sanitary dan phytosanitary (SPS) yang mengatur standar kesehatan manusia, hewan, dan tanaman. Standar internasional demikian tentu sangat sulit dipenuhi oleh petani dari negara berkembang.

Alhasil, pasar pertanian negara maju relatif masih tertutup dari eskpor negara berkembang. Di sisi lain, negara maju sangat menikmati liberalisasi pertanian dengan terbukanya pasar negara berkembang. Dengan kata lain, hukum internasional disusun untuk menciptakan liberalisasi pertanian yang hanya menguntungkan negara maju, sementara negara berkembang hanya berperan sebagai penonton.

Ketidakadilan ini memicu diluncurkannya Putaran Pembangunan Doha tahun 2001 sebagai komitmen bersama negara maju dan negara berkembang untuk menjadikan perdagangan sebagai kunci dari pembangunan dan kesejahteraan. Putaran ini pun sempat nyaris gagal ketika tidak tercapai kesepakatan antara kedua kubu tersebut pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) di Cancun tahun 2003 dan di Hong Kong tahun 2005.

Reformasi Hukum Pertanian Internasional
Pengurangan subsidi negara maju menjadi fokus dari proposal amandemen Perjanjian Pertanian. Berkat kegigihan negara berkembang, pasca KTM Hong Kong beberapa negara maju sudah mengumumkan niatnya untuk menurunkan subsidi pertanian. Amerika Serikat menawarkan pemotongan total subsidi kepada petaninya yang termuat dalam amandemen farm bill yang sedang dibahas di Congress. Uni Eropa juga menawarkan pemotongan keseluruhan jumlah subsidinya sampai sekitar 70 persen. Pengurangan itu nampak sangat drastis, dua negara besar itu pun terlihat menunjukkan niat baik agar perundingan Putaran Doha berjalan kembali. Namun keadaan ini justru dapat membuat sulit posisi negara berkembang karena mereka juga dituntut untuk menurunkan tawarannya.

Indonesia sendiri menjadi motor dari kelompok G-33 yang memperjuangkan gagasan baru mengenai perlakuan khusus bagi negara berkembang. Gagasan tersebut tertuang ke dalam konsep Special Products (SP) yang menginginkan agar sejumlah produk pertanian memperoleh fleksibilitas penurunan tarif, dan Special Safeguard Mechanism (SSM) sebagai perlindungan sementara dari ancaman serbuan impor dan penurunan harga impor. Saat ini, proposal tersebut sudah mendapat dukungan dari Uni Eropa dan kelompok G-10 yang dipimpin Brazil.
Dengan mulai terlihatnya beberapa kesepakatan antara negara-negara peserta perundingan, bukan tidak mungkin Putaran Doha menyangkut perjanjian pertanian akan dapat diselesaikan.

Tantangan Indonesia
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum internasional telah mengatur sedemikian rumitnya sistem pertanian global yang memiliki dampak besar bagi Indonesia. Dengan semakin terkaitnya aktivitas ekonomi, hukum internasional harus menjadi aspek yang tidak boleh terlupakan dalam upaya untuk membangun pertanian Indonesia yang bertujuan untuk memacu pembangunan dan menciptakan kesejahteraan. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi diplomasi Indonesia dalam membentuk hukum yang berorientasi keadilan global. Namun demikian, penguatan kapasitas domestik harus menjadi fokus yang utama karena tanpanya, Indonesia tidak mungkin memiliki sesuatu untuk diperjuangkan pada fora internasional.

Semoga krisis kedelai ini dapat membuka kepedulian kita semua.

READ MORE
Posted by Fiat Justitia at 1:08 PM 0 comments

Isu-Isu Kehutanan dalam Perdagangan Internasional

by: M. Ajisatria Suleiman

Isu-isu kehutanan relevan untuk diperbicangkan dalam konteks perdagangan internasional karena beberapa alasan. Pertama, permintaan terhadap produk-produk kehutanan selalu meningkat. Meskipun demikian, perdagangan atas produk kehutanan tidak banyak yang diperdagangkan dalam pasar global dan hanya terfokus pada konteks regional sehingga diperlukan perluasan pasar. Kedua, produksi kehutanan yang berasal dari hutan tropis hanya memiliki porsi kecil dalam pasar global. Ketiga, negara berkembang hanya mendapat porsi kecil dalam pasar global. Pun negara berkembang ini hanya didominasi oleh Indonesia, Malaysia, dan Republik Rakyat Cina (RRC).

Sebagai hasil Putaran Uruguay dari World Trade Organization (WTO), produk kehutanan dikategorikan sebagai produk industri, sehingga tidak termasuk dalam Agreement on Agriculture. Meskipun demikian, terdapat beberapa pengaturan yang berlaku bagi produk kehutanan sebagaimana juga berlaku bagi produk pertanian, antara lain Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS Agreement) dan the Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT Agreement).

Beberapa isu yang menjadi perhatian dalam perdagangan internasional dalam kaitannya dengan produk kehutanan antara lain sebagai berikut.

Pertama, menyangkut tarif. Secara umum, tarif untuk produk kehutanan khususnya di negara maju sebenarnya tidak tinggi, yaitu sekitar 5 persen. Penurunan tarif difokuskan untuk beberapa pasar lain yang memberikan tarif sekitar 10-15 persen, terutama untuk produk seperti plywood. Namun sebenarnya banyak negara yang dapat menurunkan tarif di bidang kehutanan melalui langkah-langkah regional seperti ASEAN, NAFTA, dan juga dapat mendapatkan fasilitas yang diberikan kepada negara berkembang dengan General System of Preferences (GSP).

Kedua, menyangkut hambatan non-tarif atau Non-Tariff-Measures (NTMs). Beberapa NTMs yang dapat mempengaruhi perdagangan internasional atas hasil hutan antara lain:
a. Quantitive Restrictions, biasanya dengan penerapan kuota atas produk kehutanan. European Union, misalnya, menerapkan kuota untuk fibre-building boards, builders' woodwork dan beberapa produk furnitur.
b. Phytosanitary and technical regulations and standards. Standard dan pengaturan phytosanitary (kesehatan tanaman) biasanya diberlakukan atas dasar pertimbangan lingkungan hidup. Beberapa pengaturan yang mempengaruhi produk kehutanan antara lain: larangan panel kayu untuk menggunakan formaldehyde glues, yaitu gula yang dapat membahayakan kesehatan manusia; atau larangan untuk beberapa metode pengawetan kayu yang tidak ramah lingkungan hidup.
c. Export Restrictions, termasuk diantaranya pajak ekspor, larangan ekspor, dan pengaturan lainnya. Hambatan ekspor ini biasanya berlaku untuk produk seperti logs, sawnwood dan plywood. Hambatan eskpor biasanya diterapkan untuk menambah pemasukan negara dan melindungi industri dalam negeri.

Selain isu diatas, terdapat beberapa permasalahan yang perlu didiskusikan lebih jauh, yaitu mengenai trade impediments (hambatan perdagangan). Trade impediments adalah hambatan-hambatan yang legal berdasarkan ketentuan GATT-WTO, namun memiliki implikasi yang besar terhadap perdagangan produk kehutanan. Trade impediments biasanya berdasarkan atas motif perlindungan lingkungan hidup, dan tidak sedikit yang merupakan langkah sukarela sehingga tidak terkait dengan kebijakan negara. Beberapa contoh dapat diberikan sebagai berikut.

a. Hambatan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan berkelanjutan.
Negara dapat menetapkan kebijakan atas dasar perlindungan ekosistem hutan yang dapat menghambat perdagangan. Contoh yang diberikan antara lain metode pengangkutan, pengolahan, dan konsumsi produk kehutanan, energi yang digunakan dalam proses pengolahan, serta masalah pengelolaan polusi dan pembuangan limbah produksi. Permasalahan ini yang menjadi salah satu fokus pada WTO Comitte on Trade and Environment (CTE) terutama dalam upaya harmonisasi kebijakan tersebut dengan perjanjian TBT dan SPS.

b. Larangan yang dikeluarkan oleh pemerintahan daerah (local governments).
Kebijakan pemerintah daerah/negara bagian dapat mempengaruhi perdagangan produk kehutanan, sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Australia.

c. Sertifikasi produk kehutanan
Sertifikasi produk kehutanan banyak menuai isu, baik dalam kaitannya dengan perdagangan internasional atau dengan pembangunan berkelanjutan. Dengan sertifikasi produk kehutanan, setiap produk memiliki status yang menentukan negara asal produk tersebut. Sertifikat hanya diberikan atas produk kehutanan yang sah dan dikelola secara berkelanjutan. Tujuannya, pembeli hanya akan membeli produk yang memiliki sertifikat tersebut dan produk kehutanan yang tidak memiliki sertifikat patut dicurigai sebagai hasil aktivitas illegal logging.

Kontroversi timbul karena sertifikasi dapat menjadi hambatan perdagangan yang akan meningkatkan harga produk kehutanan. Produsen yang bergerak di bidang kehutanan juga belum dapat memahami batas-batas dan persyaratan untuk mendapatkan sertifikasi tersebut. Sementara itu, apabila sertifikasi dikeluarkan secara internasional, maka hanya negara maju yang mendapat keuntungan. Hal ini karena banyak negara berkembang yang belum tentu dapat memenuhi persyaratan sertifikasi yang diberikan.

d. Hambatan dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES)
CITES adalah perjanjian internasional yang mengandung pengaturan yang dapat menghambat aktivitas perdagangan internasional. Dalam CITES, setiap negara berhak untuk mengeluarkan ijin atas perdagangan spesies langka. Spesies langka ini dikategorikan menjadi tiga sebagaimana tercantum dalam tiga lampiran CITES, yaitu: Appendix I tentang essentially prohibits commercial trade, yaitu spesies yang secara mutlak tidak dapat diperdagangkan; Appendix II yang mensyaratkan pemberian ijin ekspor untuk perdagangan beberapa spesies langka; dan Appendix III yang juga mensyaratkan pemberian ijin ekspor dan sertifikat negara asal spesies (certificate of origin) untuk spesies-spesies tertentu. Aktivitas dari gerakan perlindungan lingkungan hidup adalah mencoba memasukan spesies-spesies ke dalam Appendix CITES sehingga menjadi produk kehutanan yang ilegal untuk diperdagangkan.

Berbagai permasalahan ini merupakan salah satu bukti sulitnya upaya harmonisasi antara perdagangan internasional dengan perlindungan lingkungan hidup. Salah satu isu yang menjadi perhatian dalam Konferensi Tingkat Menteri WTO di Seattle, 1999, adalah suara aktivis lingkungan hidup mengenai dampak-dampak negatif apabila diadakan liberalisasi perdagangan di bidang kehutanan. Penurunan tarif dan penghapusan hambatan perdagangan dapat menyebabkan deforestation yang akan banyak merugikan negara berkembang. Meskipun WTO sudah memiliki komisi khusus untuk membahas kedua sektor yang saling berkaitan ini, namun sangat sulit untuk dicapai penyelesaian.

READ MORE

Refleksi 60 Tahun Perdagangan Dunia dalam Laporan Tahunan WTO 2008

by: M. Ajisatria Suleiman

Pada 1 Januari 2008, sistem perdagangan internasional merayakan peringatan 60 tahun pembentukannya yang ditandai dengan lahirnya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada 1948. Dalam rangka memperingati momen tersebut, Laporan Perdagangan Dunia (World Trade Report) tahun 2008, yang dikeluarkan oleh World Trade Organization (WTO) membahas dengan dalam mengenai GATT dan WTO sebagai penerusnya. Pembahasan mencakup antara lain sejarah pembentukan, prestasi yang telah dicapai, tantangan yang telah dilalui, dan harapan di masa mendatang. Laporan tersebut dimaksudkan untuk menggambarkan perjalanan panjang organisasi GATT dan WTO, berbagai perubahan, dan adaptasi yang harus dilakukan oleh suatu sistem yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara global di era pasca Perang Dunia II yang mana sampai sekarang masih belum berhasil mencapai tujuannya dan bahkan menghadapi tantangan yang semakin berat.

Dalam melakukan refleksi atas sistem perdagangan yang diatur oleh WTO ini, Direktur Jenderal WTO, Pascal Lamy, menyatakan bahwa sistem perdagangan global telah menjadi sumber dari kesejahteraan, stabilitas, dan prediktabilitas selama enam dekade. Menurutnya, sistem perdagangan multilateral telah menyokong suatu periode dari pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi yang belum pernah terjadi pada periode sebelumnya di dunia, sehingga mampu meningkatkan pembangunan di banyak negara dan mengurangi kemiskinan. Namun demikian, diakui oleh Lamy bahwa GATT dan WTO belum menunjukan segenap peran dan fungsinya secara optimal, terutama bagi negara berkembang. Oleh karena itu, Lamy berharap beberapa bulan ke depan, WTO dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi negara anggota beserta masyarakatnya. Perkataan ini merujuk pada proses negosiasi ambisius dan berorientasi pada pembangunan yang bernama Putaran Pembangunan Doha (Doha Development Round) yang diharapkan dapat memperkuat sistem WTO guna mewujudkan dunia yang lebih sejahtera.
Laporan dimulai dengan latar belakang sejarah lahirnya GATT, termasuk penjelasan mengapa negara di dunia sepakat untuk menyatukan kepentingan perdagangannya ke dalam satu perjanjian, dilanjutkan dengan prestasi GATT/WTO selama enam dekade, dan diakhiri dengan pekerjaan rumah WTO yang perlu segera diselesaikan.

Menurut laporan ini, periode pertengahan dekade 1990an sebenarnya tidak mendukung kondisi untuk menciptakan kerja sama internasional. Perang Dunia yang baru saja berakhir membatasi kemampuan pemerintah dalam mengelola negara, menyulitkan terciptanya kerja sama internasional, terutama dalam mencapai kebijakan perdagangan global. Sistem perdagangan saat itu didominasi oleh pendekatan proteksionisme, diskriminasi, dan tensi politik yang tinggi. Oleh karena itu, sistem GATT yang dibentuk pada 1948 dianggap mampu menentang arus utama kebijakan pada saat itu karena mengedepankan stabilitas dan prediktabilitas.

Laporan ini juga menjabarkan tantangan yang dihadapi oleh sistem perdagangan internasional saat ini, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tantangan terdekat adalah bagaimana menutup perundingan perdagangan yang masih berlangsung sampai saat ini agar mampu menguntungkan setiap pihak yang terlibat dan juga memastikan posisi WTO dalam pengelolaan perdagangan internasional (international trade governance). Seiring dengan perubahan konstelasi kekuatan ekonomi dunia dan peralihan fokus dari masyarakat internasional, penulis Laporan mengajak pemerintah negara-negara anggota untuk merumuskan suatu alternatif yang mampu mengakomodasi seluruh kepentingan dalam sistem perdagangan internasional. Masa depan perdagangan internasional dianggapnya tergantung pada penghargaan (respect) dari setiap negara anggota terhadap WTO.

Dalam meninjau alasan yang mendorong negara anggota untuk bekerja sama dalam WTO, laporan ini mencantumkan perspektif pemikiran dari ahli ekonomi, ahli ekonomi politik, ahli hubungan internasional, dan juga ahli hukum. Berbagai alasan dikemukakan dari sudut pandang yang berbeda memberikan perpesktif yang segar dalam laporan ini. Ahli ekonomi misalnya, menekankan manfaat ekonomis dari liberalisasi perdagangan. Ahli ekonomi politik di sisi lain menekankan pada kepentingan politik yang mempengaruhi kerja sama internasional dan bagaimana komitmen internasional dapat mempengaruhi kekuatan pada ekonomi domestik. Ahli hubungan internasional lebih meninjau sistem perdagangan internasional dari pembagian kekuatan, konflik, dan gagasan yang timbul pada masyarakat internasional. Tidak tertinggal ahli hukum yang melihat WTO dari aspek perjanjian yang membentuknya yang dianggap sebagai “konstitusi internasional” dalam melindungi kepentingan publik dan membatasi peran negara. Kesimpulan yang didapatkan adalah bahwa motivasi untuk terlibat dalam perdagangan internasional adalah saling berbeda di antara negara-negara di dunia.

Kontribusi utama dari lembaga seperti WTO adalah mengurangi ketidakpastian dalam perdagangan internasional, memfasilitasi negosiasi, menyebarluaskan informasi, mengurangi biaya transaksi dalam berbagai cara, mengelola kesepakatan perdagangan, dan memantau kebijakan.

Laporan Perdagangan Dunia menunjukan bahwa sejak 1950, volume perdagangan dunia telah meningkat tujuh puluh lima kali, tiga kali lebih tinggi dari pertumbuhan output dunia (world output growth). GATT/WTO memang berhasil melakukan liberalisasi di bidang perdagangan, namun kesuksesan yang dicapai hanya terjadi di beberapa bidang saja. Liberalisasi pertanian diakui sebagai sektor yang paling menantang dan hasil yang dicapai masih sangat minim. Hambatan yang sama juga dicapai dalam liberalisasi atas produk yang menggunakan tenaga kerja intensif karena mendapatkan banyak hambatan di pasar global. Instrumen lain seperti perjanjian regional ternyata memiliki andil dalam mengurangi tarif dan hambatan perdagangan lainnya.

Satu hal yang sangat berkembang dari sistem perdagangan multilateral adalah mekanisme penyelesaian sengketa. Mekanisme penyelesaian sengketa dalam WTO menjadi forum yang sering digunakan dalam menyelesaikan masalah perdagangan, terutama sejak negara berkembang aktif berpartisipasi dalam forum ini. Dalam Putaran Uruguay tercapai kesepakatan untuk membentuk mekanisme penyelesaian sengketa yang belum pernah ada dalam hukum internasional sebelumnya, terutama dengan sistem adopsi kuasi-otomatik dari laporan panel dan pembentukan lembaga banding (Appellate Body) untuk melakukan legal review. Prosedur pelaksanaan putusan juga dirumuskan sehingga tidak terhambat oleh pihak yang kalah. Meskipun sebagian kasus yang diselesaikan berjalan dengan lancar, beberapa kasus yang mendapat perhatian (high-profile cases) mengalami kesulitan implementasi sehingga harus berujung pada tindakan retaliasi. Mekanisme baru ini pun dianggap mampu menyelesaikan sengketa dalam waktu yang singkat dan efektif.

Masih banyak tantangan yang harus dihadapi oleh sistem perdagangan multilateral selain menyelesaikan Putaran Doha, yakni yang berupa permasalahan sistematik yang telah menjadi isu sejak GATT/WTO pertama kali dibentuk. Dari segi organisasi, mekanisme pengambilan keputusan di WTO dikritik agar mampu menyeimbangkan kepentingan negara maju dan negara berkembang. Perdagangan di bidang jasa juga menjadi sorotan dari berbagai pihak terutama negara berkembang. Selain itu, isu lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan menjadi tantangan jangka panjang yang menjadi perhatian besar WTO, termasuk hubungan antara pemanasan global dan perdagangan internasional, serta pengelolaan energi di tingkat internasional.

READ MORE
Posted by Fiat Justitia at 1:02 PM 0 comments

PERKEMBANGAN PERJANJIAN PERTANIAN WTO

by: M. Ajisatria Suleiman

Dalam pertemuan keempat Konferensi Tingkat Menteri (KTM) World Trade Organization (WTO) di Doha, Qatar pada bulan November 2001, diadopsi sebuah agenda besar mengenai pembentukan putaran baru negosiasi perdagangan yang dikenal dengan nama Doha Development Round (DDR), atau Putaran Doha. Putaran Doha memiliki visi untuk membentuk konsep baru liberalisasi di bidang pertanian, tarif, jasa, rencana implementasi program, potensi reformasi dalam sistem penyelesaian sengketa, serta empat bidang yang disebut dengan ”Singapore Issues,” yaitu persaingan usaha, investasi, transparansi dalam pengadaan barang pemerintah, dan fasilitas perdagangan. Di antara topik-topik perundingan tersebut, perjanjian pertanian menjadi perhatian negara berkembang karena sektor ini menjadi pilar ekonomi di banyak negara berkembang.

Perundingan bidang pertanian ini berkaitan dengan hasil kesepakatan sebelumnya dalam Putaran Uruguay (1986-1994) yang membentuk WTO sekaligus membentuk perjanjian pertanian yang tercantum dalam WTO Agreement Annex 1A mengenai Multilateral Agreement on Trade in Goods. Perjanjian ini mempunyai tiga pilar utama, yaitu akses pasar, pengurangan dukungan domestik, dan pengurangan subsidi. Negara peserta perjanjian sepakat untuk meninjau kembali perjanjian ini, terutama yang berkaitan dengan akses pasar dan subsidi pertanian, dalam waktu enam tahun (10 tahun bagi negara berkembang) sejak perjanjian berlaku efektif pada tahun 1995. Namun, sejak tahun 1999, negara peserta sepakat untuk mempercepat peninjauan kembali tersebut sampai pada akhirnya dirundingkan dalam Putaran Doha.

Kegagalan Putaran Doha
Selanjutnya dalam KTM ke-5 di Cancun, Mexico pada bulan November 2003 direncanakan untuk dibentuk kesepakatan kerangka kerja (framework agreement) mengenai perundingan perjanjian pertanian, selain menentukan arah perundingan yang menyangkut Singapore Issues. Namun, para menteri gagal untuk mencapai kesepakatan dalam koferensi ini. Sejak itu, delegasi negara anggota mencoba membangkitkan kembali arah perundingan Putaran Doha dengan membuat dua framework agreement pada bulan Juli 2004 dalam bidang pertanian. Pertama menyangkut liberalisasi dari akses pasar serta penurunan bantuan domestik dan subsidi ekspor untuk produk pertanian. Sedangkan yang kedua menyangkut liberalisasi perdagangan untuk produk barang dan jasa nonpertanian. Tindak lanjut perundingan pertanian tetap tidak menemui titik temu dalam KTM ke-6 di Hong Kong, Cina 13-18 Desember 2005. Bahkan pada bulan Juli 2006, perundingan Putaran Doha terhenti sama sekali karena tidak tercapai kesepakatan antara negara-negara anggota.

Kegagalan KTM WTO dan forum lainnya menunjukan perbedaan pandangan yang tidak dapat disatukan di antara negara berkembang dan negara maju dalam menyikapi isu pertanian. Perjanjian pertanian WTO dianggap tidak mengakomodasi kepentingan petani miskin dan negara berkembang, sementara juga tidak memberikan solusi terhadap pembangunan masyarakat miskin dan masalah ketahanan pangan. Perjanjian ini semakin membatasi peran pemerintah dalam melindungi industri pertanian domestik (dimana pengaturan yang diberikan lebih mengikat negara berkembang dibandingkan terhadap negara maju) dan semakin membuka batas-batas negara dalam perdagangan produk pertanian. Oleh karena itu, revisi besar diperlukan untuk menciptakan perdagangan yang adil (fair trade) dan pemberian perlakuan khusus bagi negara berkembang. Permasalahan ini pula yang menyebabkan Putaran Doha belum dapat diselesaikan sampai sekarang, sedangkan batas waktu yang ditetapkan sudah terlewati.

Beberapa Subtansi Perdebatan
Sebagai contoh, komoditas pertanian dari negara maju disubsidi besar-besaran oleh pemerintah mereka kemudian dijual ke pasar global. Akibatnya, komoditas ini mampu diproduksi dibawah harga standar produksi dan mengakibatkan harga komoditas tersebut di pasar global turun. Hal ini menyebabkan produk pertanian di negara berkembang yang tidak memiliki sistem jaring pengaman (safety net) tersingkir dari pasar, dan para petani miskin pun semakin terjerumus dalam kemiskinan. Kebijakan pertanian negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa memang sampai saat ini masih memberikan subsidi yang tinggi untuk produk pertaniannya. Negara berkembang saat ini mengusulkan diberlakukannya mekanisme countervail (pajak impor yang dikenakan oleh suatu negara terhadap barang impor negara lain sebagai tindakan balasan karena negara yang memasok barang memberikan subsidi terhadap barang tersebut) yang sederhana terhadap produk pertanian dari negara maju untuk menyeimbangkan subsidi tersebut.

Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Oxfam,[1] negara maju memberikan banyak hambatan perdagangan (trade barriers) bagi produk pertanian negara berkembang, seperti kenaikan tarif (tariff escalation) dan standar impor yang ketat yang merugikan produk dari negara berkembang seperti gula dan cocoa. Permasalahan di luar liberalisasi pasar adalah rentannya (volatily) harga komoditas serta adanya kontrol monopolistik dari pasar global yang dilakukan oleh perusahaan besar dengan memperdagangkan produk pertanian dengan harga sangat rendah.

Negara berkembang juga mengusulkan fleksibilitas kebijakan dalam perjanjian pertanian dalam rangka memenuhi ketahanan pangannnya. Kebijakan ini antara lain instrumen yang mengijinkan negara berkembang melindungi pasar domestiknya dari kenaikan tingkat impor, membentuk program dukungan domestik (domestic support program) untuk meningkatkan kapasitas petani miskin, dan mengecualikan beberapa produk pertanian yang vital bagi kehidupan ekonomi petani miskin. Namun proposal ini mendapat tentangan dari negara maju.

Menyelesaikan Kebuntuan Putaran Doha
Adanya kebuntuan (deadlock) dalam perundingan Putaran Doha, khususnya menyangkut perjanjian pertanian tidak dapat diselesaikan apabila antara negara maju dan negara berkembang tetap dalam posisinya masing-masing. Namun peran yang besar berada pada negara maju, terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa, yang memegang kunci penting dalam pengambilan keputusan agar dapat menyelesaikan putaran ini. Negara maju harus memperbaiki proposal mereka yang mengakomodasi kepentingan negara berkembang.

Susan Schwab, perwakilan perdagangan AS untuk Uni Eropa, mengatakan bahwa saat ini antar negara sudah mulai dilakukan perbincangan bilateral untuk membahas isu-isu mengenai perjanjian pertanian.[2] Langkah ini dapat menjadi awal disepakatinya isu pertanian dalam Putaran Doha. Perbincangan tersebut dimaksudkan untuk menyiapkan posisi pada perundingan pertanian informal yang dilakukan pada 27 Januari di sela-sela acara World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss pada 24-28 Januari 2007. Ketua kelompok negara berkembang G-33 yang juga Menteri Perdagangan Indonesia, Marie Elka Pangestu, mengatakan bahwa dalam pertemuan Davos tersebut peran Amerika Serikat sangat vital untuk menentukan keberlangsungan Putaran Doha.[3]

Menanggapi hal ini, beberapa negara maju sudah mengumumkan niatnya untuk menurunkan subsidi pertanian. Misalnya Amerika Serikat menawarkan pemotongan total subsidi pertanian kepada petaninya, kabarnya, turun ke angka $ 15 milyar dolar dalam amandemen farm bill yang sedang dibahas di Congress. Uni Eropa juga menawarkan pemotongan keseluruhan jumlah subsidinya sampai sekitar 70 persen. Pengurangan itu nampak sangat drastis, dua negara besar itu pun terlihat menunjukkan niat baik agar perundingan Putaran Doha berjalan kembali. Namun keadaan ini justru membuat sulit posisi negara berkembang karena mereka juga dituntut untuk menurunkan tawarannya misalnya dengan memperlemah proposal pada kelompok Negara G33. Apabila kelompok-kelompok negara berkembang itu menolak, maka AS dan UE bisa mengumumkan bahwa Negara-negara berkembang itulah menyebabkan perundingan terhenti. Beberapa pihak justru menganggap langkah yang dilakukan oleh AS dan UE tersebut patut diwaspadai karena belum tentu sepenuhnya menguntungkan kepentingan negara berkembang.

Sebagaimana tercantum pada Komunike Negara G-33 yang dikeluarkan sebagai hasil pertemuan yang dilangsungkan pada 21 Maret 2007 di Jakarta, negara berkembang pada dasarnya menyambut baik komitmen politik yang diberikan, terutama oleh AS, dalam menyikapi kebuntuan perundingan ini. Dalam pertemuan yang dilakukan untuk menyatukan visi dalam lanjutan Putaran Doha di Geneva pertengahan 2007 ini, G-33 juga memberikan perhatian yang besar terhadap indikator yang transparan dengan pendekatan rasional dan sederhana dalam menentukan kriteria komoditas yang masuk dalam special products (SP). Sementara itu, Uni Eropa dan G-10 yang dimotori Brasil sepakat untuk mendukung keputusan kelompok G-33 untuk menyampaikan posisinya menyangkut mekanisme Special Products (SP)/ Special Safeguard Mechanism (SSM) secara lebih jelas dan transparan dalam perundingan Putaran Doha, sebagaimana telah disepakati dalam KTM di Hong Kong.

Dengan mulai terlihatnya beberapa kesepakatan antara negara-negara peserta perundingan, bukan tidak mungkin Putaran Doha menyangkut perjanjian pertanian akan dapat diselesaikan. Apalagi untuk beberapa bidang pembahasan lain dalam Putaran Doha, misalnya mengenai amandemen perjanjian Trade Related Aspects on Intellectual Property Rights sudah tercapai kesepakatan. Situasi demikian dapat dijadikan pemicu bagi masing-masing negara untuk meninjau kembali tuntutannya demi terselesaikannya perundingan pertanian. Meskipun demikian, titik berat perundingan tetap harus diletakan pada kepentingan negara berkembang mengingat pengaturan pertanian selama ini cenderung merugikan negara berkembang. Apalagi, konsep utama Putaran Doha adalah ”Putaran Pembangunan” (Development Round) sehingga orientasi pemerataan pembangunan melalui penghilangan kesenjangan antara negara maju dan negara berkembang harus menjadi fokus. Selain itu, hasil Putaran Doha, khususnya bidang pertanian, harus selalu mengacu pada pemenuhan target Millenium Development Goals (MDGs), sehingga ketahanan pangan dan penghapusan pemiskinan, terutama bagi petani miskin, harus lebih diperhatikan dalam perundingan pertanian di WTO.


[1] http://www.globaljust.org/news_detail.php?catagori=&id=91
[2] http://useu.usmission.gov/Article.asp?ID=C53747E6-2EC1-4954-8064-40586E9CBAFB
[3] http://perpustakaan.bappenas.go.id/pls/kliping/data_access.show_file_clp?v_filename=F12599/%20Pertemuan%20menteri-BI.htm

READ MORE
Posted by Fiat Justitia at 12:48 PM 0 comments

Putaran Doha dan Ancaman Pemanasan Global

by: M. Ajisatria Suleiman



Akhir 2007 merupakan momentum untuk meningkatkan kesadaran global mengenai bahaya pemanasan global yang mengancam dunia. Konferensi Perubahan Iklim digelar di Bali, pada 8-9 Desember 2007 dengan diamati oleh seluruh elemen masyarakat guna memberikan hasil yang maksimal dan memberikan solusi yang optimal bagi kesepakatan-kesepakatan yang akan tercapai. Perang melawan pemanasan global membutuhkan berbagai pendekatan, termasuk dari aspek perdagangan internasional. Dari hal ini, organisasi perdagangan dunia, World Trade Organization (WTO), dapat menunjukan perannya.


Direktur-Jenderal WTO, Pascal Lamy, dalam pidatonya pada Dialog Informal Menteri Perdagangan, Konferensi Perubahan Iklim di Bali, Desember 2007, menyatakan bahwa perundingan Putaran Doha mengenai perdagangan barang dan jasa lingkungan hidup dapat memberikan kemenangan ganda (double win) bagi negara anggota WTO, kemenangan bagi lingkungan hidup, dan kemenangan bagi perdagangan. Lamy menyatakan bahwa regulasi WTO dapat membuktikan fungsinya yang menentukan dalam melawan pemanasan global, namun dibutuhkan konsensus global tentang bagaimana cara melawan permasalahan bersama tersebut.
Persimpangan isu antara pemanasan global dan perdagangan internasional dapat timbul melalui berbagai macam pendekatan. Meskipun WTO tidak memiliki aturan yang secara khusus mengenai energi, lingkungan hidup, ataupun pemanasan global per se, namun tidak dapat dipungkiri bahwa hukum perdagangan internasional relevan dalam membahas pemanasan global.


Sistem perdagangan multilateral dianggap memiliki peran yang cukup signifikan dalam menghadapi pemanasan global. Beberapa pihak berpendapat bahwa sistem ini dapat mengatur karbon yang dihasilkan oleh emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam proses produksi, transportasi internasional, dan konsumsi berbagai barang dan jasa. Sementara itu, pihak yang lain berpendapat bahwa sistem perdagangan multilateral dapat ‘menyeimbangkan’ kerugian yang diderita akibat menangani pemanasan global. Secara lebih spesifik, ada gagasan untuk mengenakan biaya ekonomi atas produk yang diimpor ke suatu negara seimbang dengan biaya yang dikeluarkan dalam mengatur emisi negara tersebut.


Tentu saja masih terdapat beragam ide lain mengenai cara menyeimbangkan langkah-langkah yang dilakukan dalam mengatasi pemanasan global, termasuk diskusi mengenai sektor ekonomi yang paling banyak volume perdagangannya dan membutuhkan energi yang besar seperti produksi besi dan baja. Dalam membahas isu ini, gagasan yang dilontarkan berkisar antara pengenaan pajak karbon baik domestik maupun yang terkait dengan perdagangan internasional seperti sistem cap-and-trade yang melibatkan juga importir. Gagasan lainnya juga adalah dengan meningkatkan perdagangan ‘barang dan jasa lingkungan hidup’ yang relevan dengan pemanasan global melalui Putaran Doha. Mayoritas dari ide tersebut adalah pengenaan pajak dalam transaksi transnasional, namun ada juga yang merumuskan konsep untuk menghindari pemanasan global melalui regulasi subsidi dan bahkan hak kekayaan intelektual.


Namun demikian, untuk merumuskan konsep hukum perdagangan internasional dalam menangani pemanasan global terlebih dahulu dibutuhkan kesamaan paham dari negara-negara di dunia mengenai cara mengatasi pemanasan global, termasuk negara-negara industri yang tergabung dalam Annex I Konvensi Perubahan Iklim. Tanpa adanya kesatuan pandangan dasar secara konsensual dari negara-negara tersebut, akan sangat sulit tercapai mekanisme perdagangan internasional yang diterima oleh seluruh pihak.


Regulasi perdagangan tidak dimaksudkan untuk menggantikan regulasi lingkungan hidup. Oleh karena itu, regulasi dari Perjanjian WTO beserta lampirannya dimaksudkan hanya menjadi salah satu solusi dari kerangka besar upaya mengatasi pemanasan global. Forum WTO bukanlah forum utama dalam menyelesaikan pemanasan global, yang mana forum yang tepat adalah forum lingkungan hidup seperti United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Dari perjanjian semacam itu baru kemudian diberikan kerangka dasar pembangunan berkelanjutan yang kemudian menjadi acuan bagi sistem perdagangan internasional pada WTO.
Tanpa adanya kerangka yang diberikan forum lingkungan hidup tersebut, maka akan timbul kebingungan dalam merumuskan respon dari sistem perdagangan multilateral. Kerangka dalam perjanjian lingkungan hidup multilateral lah yang akan memandu perjanjian lain seperti WTO maupun aktor-aktor ekonomi lainnya dalam mengatasi eksternalitas negatif yang timbul dari kerusakan lingkungan hidup. Berdasarkan perjanjian tersebut, akan dinilai apakah suatu tindakan perdagangan atau langkah-langkah ekonomi yang ditempuh suatu negara dapat dijustifikasi dari sudut pandang perlindungan lingkungan hidup.


Dalam mewujudkan sistem yang menunjung kesepakatan mengenai perubahan iklim, setiap negara harus merefleksikan peran perdagangan internasional dalam kesepakatan tersebut. Perdagangan dapat mewujudkan keuntungan karena efisiensi, yakni menciptakan spesialisasi produksi di antara negara-negara di dunia. Perdagangan internasional juga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang mana dapat meningkatkan kemungkinan suatu negara meningkatkan investasinya dalam pencegahan polusi, andai saja terdapat kemauan politik dari negara tersebut. Agar gagasan tersebut dapat diwujudkan, harus dibangun terlebih dahulu paradigma perlindungan lingkungan hidup yang kemudian akan menjadi pondasi bagi sistem perdagangan.


Dengan kata lain, regulasi dalam WTO tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu alat dalam mengatasi pemanasan global. Regulasi dalam WTO mengatur mengenai standar produk, yang mana terdapat suatu standar internasional mengenai suatu produk. Selain itu, WTO juga mengatur subsidi, pajak, hak kekayaan intelektual, dan aspek-aspek lainnya. Seluruh regulasi tersebut dapat membantu mengurangi pemanasan global sepanjang terdapat suatu parameter lingkungan hidup atas peran instrumen tersebut.


Parameter demikian yang harus ditentukan oleh masyarakat lingkungan hidup, bukan masyarakat perdagangan. Tanpa adanya parameter tersebut, pengaturan yang terdapat dalam WTO akan menjadi tarik ulur kepentingan politik dari negara-negara anggotanya karena setiap negara dapat memiliki interpretasi tertentu terhadap suatu tujuan perlindungan lingkungan hidup. Pada akhirnya, baik tujuan perlindungan lingkungan hidup maupun tujuan perdagangan tidak akan tercapai.


Telah dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu ide mengenai peran WTO adalah membuka pasar atas produk ramah lingkungan dan jasa perlindungan lingkungan hidup. Perundingan Doha misalnya menawarkan untuk meningkatkan akses terhadap produk seperti scrubbers, air filter, atau jasa pengelolaan energi. Namun sebagaimana sudah diduga, sangat sulit untuk menentukan kategori barang dan jasa yang termasuk dalam kategori bidang lingkungan hidup. Menurut ahli ekonomi, pasar global mengenai barang dan jasa bidang lingkungan hidup diperkirakan berjumlah 550 miliar dollar setiap tahunnya. OECD memperkirakan bahwa 65 persen dari jumlah tersebut terkait dengan jasa lingkungan hidup, sementara sisanya (35 persen) adalah produk lingkungan. Berdasarkan jumlah tersebut, industri barang dan jasa yang berkembang dalam rangka mengurangi efek pemanasan global memiliki proporsi yang cukup besar.
Dalam konteks Putaran Pembangunan Doha bagian perlindungan lingkungan hidup, yang di dalamnya tercakup materi subsidi pertanian dan pencarian hubungan antara regulasi WTO dengan perjanjian lingkungan hidup multilateral, negosiasi mengenai barang dan jasa lingkungan, dapat berbuah kemenangan ganda bagi perdagangan maupun lingkungan hidup. Sebagai contoh, liberalisasi jasa ini dapat menguntungkan Indonesia dua kali lipat sebagai salah satu eksporter steam condensers terbesar di dunia. Sementara itu, keuntungan serupa bisa didapatkan India yang mengekspor turbin hidrolik; Malaysia yang mengekspor photovoltaic cells; atau Thailand yang mengekspor mesin penyaring dan penjernih gas.


Kesempatan untuk membuka sektor barang dan jasa lingkungan hidup sangat terbuka di Putaran Doha. Namun dalam melakukan hal ini, sebelumnya perlu terdapat suatu perjanjian internasional yang mendorong permintaan atas barang dan jasa tersebut. Misalnya kesepakatan untuk mengurangi emisi GRK dapat mendorong pemanfaatan teknologi ramah lingkungan, dan dengan demikian perdagangan atas barang dan jasa ramah lingkungan akan meningkat. Apabila akses pasar atas barang dan jasa tersebut dibuka, maka manfaatnya tentu akan semakin berlipat. Berdasarkan contoh di atas terlihat bahwa harus terdapat parameter atau kerangka lingkungan hidup yang jelas untuk kemudian regulasi perdagangan internasional akan mendukungnya.

READ MORE