Konsep dan Strategi Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia: Studi Kebijakan di Nusa Tenggara Barat

Sunday, October 5, 2008

Oleh: Fika Fawzia
HukumOnline - [28/5/08]

Sepanjang sejarah, manusia telah melakukan adaptasi terhadap variasi iklim dan cuaca secara alami. Namun perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia telah melampaui kemampuan masyarakat untuk beradaptasi.

Perubahan iklim mempunyai dampak yang sangat mengenaskan terhadap pembangunan kehidupan masyarakat miskin di dunia, apalagi mereka yang tinggal di daerah dimana iklimnya merupakan yang paling ekstrim.[1]

Indonesia, sebagai negara Non-Annex 1, tidak mempunyai kewajiban untuk menurunkan emisi gas rumah kaca secara hukum.[2] Namun demikian, yang harus menjadi perhatian dan kewajiban Indonesia adalah menjadikan upaya adaptasi perubahan iklim sebagai prioritas utama dalam pembangunan nasional, karena setidaknya dua alasan berikut ini.

Pertama, dampak perubahan iklim dapat menyampingkan hak-hak atas kebutuhan hidup manusia yang paling mendasar, yakni pangan, papan, dan sandang. Mayoritas masyarakat adat[3] dan masyarakat yang bekerja sebagai nelayan dan petani sangat bergantung kepada variabilitas cuaca terhadap mata pencaharian mereka.[4] Apabila dampak negatif dari perubahan iklim betul-betul terjadi, maka dapat dipastikan akan terjadi distorsi terhadap sumber ekonomi mereka dan mengancam hak-hak kesejahteraan mereka.

Kedua, pengabaian terhadap proses adaptasi perubahan iklim akan memperlambat proses penanggulangan kemiskinan dan pencapaian pembangunan berkelanjutan.[5] Tanpa adanya ancaman perubahan iklim pun, proses penanggulangan kemiskinan dan pencapaian pembangunan berkelanjutan di Indonesia telah mengalami proses yang lambat. Pos-pos pembangunan yang diagendakan dalam Agenda Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, justru yang paling rentan terkena dampak perubahan iklim, dan paling rentan untuk mengalami pembengkakan biaya.[6]

Dengan memperhatikan kedua alasan tersebut, maka sudah sewajibnya Indonesia menjadikan adaptasi perubahan iklim sebagai agenda pembangunan nasionalnya. Mengintegrasikan unsur adaptasi perubahan iklim kepada pola kebijakan pembangunan harus dipandang sebagai strategi yang diperlukan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dalam jangka panjang.[7]

Salah satu dokumen kebijakan perubahan iklim di tingkat nasional yang dimiliki oleh Indonesia adalah Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim (RAN MAPI) yang dipublikasikan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH) pada November 2007.[8] Di tingkat daerah, salah satu contoh kebijakan untuk mengintegrasikan unsur adaptasi perubahan iklim sudah diterapkan oleh Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Upaya kebijakan yang dilakukan Pemerintahan NTB adalah dengan mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Barat Nomor 219 Tahun 2007 tentang Pembentukan Gugus Tugas untuk Pengarusutamaan Aspek-aspek Perubahan Iklim di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun Anggaran 2007 (SK GUB. NTB No. 219/2007).

Konsep Kebijakan Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia
Dokumen RAN MAPI ini dibagi menjadi enam bab. Penjelasan mengenai strategi RAN MAPI tersebut ada di bab tiga, yang menjelaskan baik strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Ada tiga hal yang patut diperhatikan dalam dokumen ini, yaitu:

1) Kebijakan RAN MAPI tidak mengikat secara hukum

Meskipun kebijakan RAN MAPI telah dibentuk oleh lembaga negara yang berwenang dalam mengelola lingkungan hidup, yakni KNLH[9], akan tetapi kebijakan ini tidak dalam bentuk peraturan perundang-undangan sehingga tidak mengikat secara hukum. Pada faktanya, RAN MAPI tidak berbentuk Keputusan atau Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup, namun hanya berupa dokumen hasil penelitian saja.

Apabila RAN MAPI tersebut tidak mempunyai kekuatan yang mengikat, maka kebijakan tersebut akan lebih bersifat kebijakan umum dari pemerintah yang tidak mempunyai implikasi hukum kepada warga negaranya. Dengan demikian, tidak tidak ada unsur imperatif[10] untuk melakukan integrasi adaptasi perubahan iklim dalam kebijakan pembangunan di Indonesia.

2) Penunjukkan KNLH sebagai institusi pemimpin (lead institution) tidak tepat untuk mengintegrasikan adaptasi perubahan iklim ke dalam kebijakan pembangunan

Kewenangan untuk membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang perencanaan pembangunan merupakan kewenangan dari Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).[11] Dengan demikian, integrasi adaptasi perubahan iklim ke dalam kebijakan pembangunan akan lebih relevan apabila dipimpin oleh Bappenas.

Tidak hanya itu, KNLH tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan kebijakan mengikat bagi departemen-departemen sektoral terkait dengan adaptasi perubahan iklim. Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Pertanian, Departemen Pekerjaan Umum, bahkan Bappenas pun berada dalam koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dan tidak dalam jangkauan Kementerian Negara Lingkungan Hidup.[12]

3) Tidak ada partisipasi publik yang hakiki dalam pembuatan kebijakan RAN MAPI

Partisipasi publik yang hakiki berarti adanya pemenuhan akses informasi, akses atas keterlibatan publik, dan akses terhadap keadilan (Prinsip Tiga Akses).[13] Prinsip Tiga Akses ini adalah cara praktis untuk menjamin bahwa kebijakan-kebijakan dari pemerintah mempertimbangkan isu pembangunan berkelanjutan dan kepentingan dari masyarakat miskin.[14]

Pada saat penyusunan RAN MAPI, kebijakan tersebut melibatkan beberapa peneliti atau konsultan independen sebagai bagian dari tim editorial dokumen kebijakan tersebut.[15] Akan tetapi, pelibatan konsultan belum berarti disebut sebagai partisipasi publik dalam arti sebenarnya, karena tidak dilakukan pengumuman, konsultasi, dan pemberitahuan RAN MAPI sampai ke masyarakat yang terkena dampak langsung terkait dengan kebijakan tersebut. RAN MAPI pun dinilai kurang komprehensif karena tidak memperhatikan aspek kerentanan dari masing-masing daerah di Indonesia.

Strategi Kebijakan Adaptasi Perubahan Iklim di Provinsi Nusa Tenggara Barat

Secara geografis, wilayah NTB sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim karena mereka merupakan wilayah kepulauan yang dimana perubahan iklim sebesar 1°C saja dapat meningkatkan permukaan air laut[16] dan mengancam mata pencaharian para penduduk NTB, yang mempunyai fokus perekonomian sektor pertanian, perikanan, dan pariwisata.[17]

Menyadari hal tersebut, muncul inisiatif dari Pemerintah Daerah NTB untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim dengan mengupayakan kebijakan pembangunan yang tanggap terhadap dampak negatif dari perubahan iklim. Pada Agustus 2007, Gubernur Provinsi NTB, H. Lalu Serinata, telah mengeluarkan SK Gubernur No 219 Tahun 2007 tentang Pembentukan Gugus Tugas untuk Pengarusutamaan Aspek-aspek Perubahan Iklim di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun Anggaran 2007. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam kebijakan ini:

1) Bentuk kebijakan merupakan mandat tegas untuk mengintegrasikan adaptasi perubahan iklim kepada kebijakan pembangunan daerah

Kebijakan yang ada di Provinsi NTB disusun dalam bentuk Surat Keputusan Kepala Daerah, yakni dalam hal ini adalah dalam bentuk Surat Keputusan Gubernur. Meskipun tidak dalam bentuk Peraturan Daerah[18], bentuk ini diakui dalam hierarki peraturan perundang-undangan[19]. Gubernur NTB mempunyai wewenang untuk mengeluarkan surat keputusan ini karena dia mempunyai wewenang untuk merencanakan dan mengendalikan pembangunan di daerah Provinsinya, dan juga mempunyai wewenang untuk melakukan pengendalian lingkungan hidup.[20]

Implikasi hukum yang terjadi adalah, terdapat mandat yang tegas untuk betul-betul mengintegrasikan upaya adaptasi perubahan iklim kepada kebijakan pembangunan. Hal ini karena Gugus Tugas mempunyai fungsi yang tegas untuk mendorong pengarusutamaan aspek-aspek dan dampak perubahan iklim pada jajaran pemerintah, sektor swasta dan masyarakat dan mengembangkan strategi adaptasi dan mitigasi sesuai dengan karakteristik daerah. Dalam menjalankan tugasnya, Gugus Tugas melaporkan hasil pelaksanaan tugas-tugasnya tersebut kepada Gubernur Nusa Tenggara Barat.[21]

2) Proses penyusunan kebijakan sudah melibatkan masyarakat secara aktif

Ide awal untuk pembentukan Gugus Tugas ini dimulai dari unsur lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan di daerah NTB, yakni WWF Indonesia Program NTB.[22] Selanjutnya, pemerintah daerah NTB sepakat untuk membentuk Gugus Tugas tersebut dan juga melibatkan unsur anggota masyarakat ke dalam Gugus Tugas, yakni dari WWF Indonesia Program NTB, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTB, dan Lembaga Transform Indonesia, dimana ketiganya merupakan unsur lembaga swadaya masyarakat

Pelibatan unsur masyarakat ini ke dalam anggota Gugus Tugas berarti sudah memberikan jaminan secara hukum untuk adanya partisipasi publik dan mereka juga bisa melakukan evaluasi dan pemantauan terhadap kebijakan ini

3) Sudah ada pengaturan mengenai mekanisme pembiayaan kegiatan adaptasi perubahan iklim

Poin penting yang juga harus disorot dalam SK Gubernur ini adalah, adanya ketentuan mekanisme pembiayaan upaya adaptasi perubahan iklim yang dibebankan kepada pos Badan Pengendali Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) NTB dan sumber-sumber lainnya yang sah dan tidak mengikat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi NTB Tahun Anggaran 2007.

Yang patut dijadikan contoh dalam hal ini adalah adanya kemauan politis dari Pemerintah Daerah untuk betul-betul mengupayakan mekanisme pembiayaan adaptasi perubahan iklim dari APBD mereka. Ini merupakan hal yang berani, karena mereka termsuk Provinsi termiskin di Indonesia[23], dan apabila kita memakai APBD dan APBN Tahun 2005 sebagai tolak ukur, Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) NTB hanya sekitar 6,7 % dibandingkan dengan total Penerimaan Negara pada Tahun 2005.[24]

Pelajaran yang Dapat Diambil

Dengan melihat konsep kebijakan perubahan iklim di tingkat nasional dan membandingkannya dengan strategi kebijakan yang diterapkan di Provinsi Nusa Tenggara Barat, maka setidaknya ada tiga hal yang dapat dipelajari dari perbandingan tersebut.

1) Perlunya kebijakan yang dimandatkan secara tegas dalam bentuk peraturan perundang-undangan

Kebijakan untuk mengintegrasikan upaya adaptasi perubahan iklim ke dalam kebijakan pembangunan akan lebih efektif apabila kebijakan tersebut dimandatkan secara tegas dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Di tingkat nasional, lebih tepat apabila kebijakan tersebut dibentuk dalam tingkat Peraturan Presiden atau yang lebih tinggi di atasnya, karena kebijakan perubahan iklim bersifat lintas-sektor dan tidak bisa hanya terfokus oleh satu departemen saja (misalnya seperti KNLH saja). Di tingkat daerah, meskipun peraturan di tingkat kepala daerah dinilai cukup, namun akan lebih baik apabila peraturan tersebut dibentuk dalam bentuk Peraturan Daerah agar kekuatan mengikatnya lebih kuat.

2) Perlunya pembentukan kelompok kerja atau komisi perubahan iklim di tingkat daerah

Pembentukan kelompok kerja atau komisi yang berkaitan dengan perubahan iklim lebih tepat dibentuk di tingkat daerah. Hal ini karena daerah yang lebih mengerti situasi dan kondisi serta kerentanan daerah tersebut terhadap dampak negatif perubahan iklim, serta pemerintah daerah yang lebih mengerti mana prioritas pembangunan di daerah masing-masing. Selain itu, proses pelibatan masyarakat akan lebih mudah diterapkan di tingkat daerah karena masyarakat di daerah tersebut itulah yang akan lebih merasakan dampak langsung dari suatu kebijakan. Kebijakan yang sentralistis tidak akan efektif dalam menghadapi keadaan pluralistis di Indonesia[25], terlebih lagi dalam konteks menanggulangi dampak negatif dari perubahan iklim guna mencapai pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

3) Perlunya mekanisme pembiayaan untuk pelaksanaan program-program adaptasi perubahan iklim

Mekanisme pembiayaan upaya adaptasi perubahan iklim perlu menjadi salah satu pos dalam APBN atau APBD, atau setidaknya terintegrasi dalam anggaran masing-masing departemen/lembaga agar program-program dan strategi adaptasi perubahan iklim di Indonesia dapat tercapai. Meskipun sudah ada mekanisme pembiayaan adaptasi perubahan iklim dari negara-negara maju, Indonesia harus bisa melepaskan ketergantungannya kepada mereka agar tercapainya keberlanjutan ekonomi yang ditunjang perlindungan ekologi di Indonesia

Rekomendasi

Inisiatif dari Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat perlu dijadikan acuan untuk mereplikasikan kebijakan tersebut ke dalam daerah-daerah lain di Indonesia. Rekomendasi yang dapat diberikan adalah:

1) Pembentukan komisi perubahan iklim lebih tepat diterapkan di tingkat pemerintah daerah, karena pemerintah daerah yang lebih mengerti situasi dan kondisi riil di lapangan serta merekalah yang dapat melakukan penilaian terhadap kebutuhan adaptasi dan kerentanan terhadap perubahan iklim di daerah mereka masing-masing.

2) Pembentukan komisi perubahan iklim tersebut lebih tepat diformulasikan dalam bentuk Peraturan Daerah, karena merupakan bentuk peraturan perundang-undangan yang lebih konkrit dan mengikat secara hukum.

3) Pemerintah pusat perlu mendorong upaya-upaya pengintegrasian adaptasi perubahan iklim ke dalam kebijakan pembangunan nasional melalui kebijakan pembangunan daerah masing-masing agar kebijakan perubahan iklim tersebut lebih mendasar dan tepat guna.

4) Pemerintah pusat bersama pemerintah daerah perlu menyusun mekanisme pembiayaan sendiri sehingga tidak bergantung kepada negara maju, agar Indonesia mandiri dan siap untuk menghadapi tantangan dari perubahan iklim dan tetap mampu mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang sebenarnya.


----
[1] Sebagai contoh, Banglades adalah salah satu delta (muara sungai) terbesar di dunia, negara yang dikelilingi oleh 230 jaringan sungai yang tidak stabil dan sebagian besar wilayahnya kurang dari 10 meter di atas permukaan air laut. Banglades juga merupakan salah satu negara termiskin di dunia, dimana 50% populasinya hidup dalam kemiskinan dan 51% dari anak-anak mereka dikategorikan malnutrisi. Dampak perubahan iklim yang ekstrim adalah adanya banjir mengenaskan yang dapat mempengaruhi produktifitas dan ketahanan pangan mereka, dan berkurangnya air bersih dimana penyakit yang berkaitan dengan air (waterborne diseases) saat ini pun sudah bertanggungjawab terhadap 24% dari kematian di Banglades. Lihat Veena Khaleque, “Bangladesh is paying a cruel price for the west’s excesses”, The Guardian, , 7 Desember 2006.

[2] Negara-negara maju yang dikenai target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 5.2% di bawah tingkat emisi pada tahun 1990 disebut dengan negara Annex 1, sementara Negara-negara yang tidak dikenai target disebut sebagai negara Non-Annex 1. Lihat IPCC (3), Summary for Policymakers, Climate Change 2007: Mitigation. Contribution of Working Group III to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), hal. 95 dan 103.

[3] Dampak dari perubahan iklim sangat diproporsional terhadap masyarakat asli di daerah seperti Artik dan Pasifik, dimana lingkungan hidup sangat terkait dengan “kehidupan asli” mereka. Penggunaan kata “kehidupan asli” adalah untuk menggambarkan interaksi sosial, ekonomi dan spirtual dari masyarakat adat tersebut dengan lingkungan tradisional mereka. Masyarakat adat mempunyai epistemologi yang istimewa yang mengasosiasikan ilmu pengetahuan dengan sumber-sumber mendasar kehidupan. Peggy V. Beck & Anna L. Walters, The Sacred: Ways of Knowledge, Sources of Life, 1977 dalam Rebecca Tsosie, “Indigenous People and Environmental Justice: The Impact of Climate Change”, University of Colorado Law Review, Fall 2007.

[4] Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Yayasan Pelangi, adanya kenaikan suhu air laut menyebabkan pemutihan terumbu karang dan punahnya berbagai jenis ikan, sehingga dapat mengancam mata pencaharian nelayan. Sementara itu pergeseran musim dan perubahan pola curah hujan akan menyebabkan meningkatnya peristiwa gagal panen yang juga dapat mengancam mata pencaharian petani, dan dapat berdampak kepada krisis pangan secara nasional. Lihat Armely Melviana, Diah Sulistiowati, Moekti Soejachmoen, Bumi Makin Panas: Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pelangi Indonesia, 2007), hal. 19.

[5] Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan ekonomi yang memperhitungkan konsekuensi lingkungan akibat kegiatan ekonomi tersebut dan berdasarkan penggunaan sumber daya yang terbaharukan sehingga sumber daya tersebut tidak akan habis. Definisi yang dipakai oleh Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan (Komisi Bruntland) mengenai pembangunan berkelanjutan dalam laporannya Our Common Future adalah, “pembangunan yang memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi masa depan dalam memenuhi kebutuhan dan aspirasinya (seeks to meet the needs and aspirations of the present without compromising the ability to meet those of the future)”. Allaby, op. cit., hal. 395.

[6] Agenda tersebut beberapa diantaranya ditandai dengan adanya struktur perekonomian yang kuat dari sektor pertanian dan komoditas sumber daya alam, terpenuhinya infrastruktur dan pasokan tenaga listrik di Indonesia, adanya kemandirian pangan, terpenuhinya kebutuhan hunian, dan terwujudnya konservasi sumber daya air. Dalam National Adaptation Programmes of Action (NAPA) yang diajukan oleh beberapa negara Least Developed Countries (LDCs), sektor adaptasi yang menjadi prioritas utama adalah pertanian, kehutanan, dan perikanan (US$ 129.16 juta) dan persediaan air bersih (US$ 50.38 juta). Lihat Figure VI-22, UNFCCC (1), Investment and Financial Flows to Address Climate Change, (Bonn: UNFCCC, 2007) hal. 132.

[7] Hal ini diakui oleh UNFCCC dalam laporannya mengenai dampak, kerentanan, dan adaptasi perubahan iklim bagi negara berkembang. UNFCCC (2), Climate Change: Impacts, Vulnerabilities and Adaptation in Developing Countries, (Bonn: UNFCCC, 2007), hal. 44.

[8] Dokumen ini dapat diakses di

[9] Menurut Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, (UU No. 23 Tahun 1997) dan Pasal 96 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia (Perpres No. 8 Tahun 2005), maka unsure pelaksana pemerintah yang mempunyai tugas membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan adalah Kementerian Negara Lingkungan Hidup.

[10] Ditinjau dari sifatnya ada dua macam kaedah hukum, yaitu kaedah hukum yang imperatif dan fakultatif. Kaedah hukum itu imperatif apabila kaedah hukum itu bersifat a priori harus ditaati, bersifat mengingat atau memaksa. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Edisi Kelima Cetakan Pertama, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2003), hal. 32.

[11] Indonesia (1), Peraturan Presiden tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia, Perpres No. 9 Tahun 2005, Pasal 104.

[12] Ibid., Pasal 11.

[13] Akses informasi adalah hak dari setiap orang untuk memperoleh informasi yang utuh, akurat, dan mutakhir untuk berbagai tujuan. Akses partisipasi dalam pengambilan keputusan merupakan pilar demokrasi yang menekankan pada jaminan hak untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Akses keadilan adalah akses untuk memperkuat hak akses informasi maupun hak akses partisipasi. Lihat Box I.2 dalam ICEL, Menutup Akses Menuai Bencana, (Jakarta: ICEL, 2008), hal. 3.

[14] Masyarakat yang sudah mendapatkan informasi dan pemberdayaan publik dapat mengawasi jalannya pemerintahan dan korporasi, sehingga mereka dapat mawas diri terhadap permasalahan-permasalahan yang ada, dan dapat memberikan kritik atau sanggahan apabila keputusan-keputusan para pembuat kebijakan tersebut memberikan dampak langsung yang merugikan mereka. Adanya peradilan yang independen tanpa adanya intervensi politik juga menjamin proses ganti rugi dan pemulihan bagi publik agar para pembuat kebijakan dapat lebih bertanggungjawab. World Resources Institute, “The Access Initiative”, , diakses terakhir pada 1 April 2008.

[15] Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim, November 2007, (Jakarta: Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2007), hal. 99-101.

[16] Kota Mataram, sangat rentan terhadap kenaikan permukaan air laut karena terletak hanya 6 meter dari permukaan laut. Penduduk NTB mayoritas menduduki pulau-pulau besar di NTB, karena dari 137 pulau yang ada di NTB, 110 merupakan pulau yang tidak berpenghuni. Situs Resmi Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, “NTB dalam Angka”, , diakses terakhir pada 1 April 2008.

[17] Pada tahun 2005, sektor pertanian memberi sumbangan 22,57 % dalam pembentukan PDRB, sektor perdaganan, hotel dan restoran 11,35% dan sektor jasa-jasa sebesar 8,63%. Ibid.

[18] Dalam penyusunan Perda, maka sebetulnya diperlukan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebelum ditetapkan oleh Kepala Daerah. Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat menetapkan peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah. Meskipun tidak ada Perda, kepala daerah mempunyai wewenang untuk membuat peraturan dan atau keputusan kepala daerah, selama tidak bertentangan dengan kepentingan umum, dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Indonesia (2), Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32 Tahun 2004, LN No. 125 Tahun 2004, TLN No. 4437, Pasal 136 ayat (1) juncto Pasal 146.

[19] Indonesia (3), Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No. 10 Tahun 2004, LN No. 53 Tahun 2004, TLN No. 4389, Pasal 7 ayat (4).

[20] Indonesia (2), loc. cit., Pasal 13 ayat (1).

[21] Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Surat Keputusan Gubernur tentang Pembentukan Gugus Tugas untuk Pengarus-utamaan Aspek-aspek Perubahan Iklim di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun Anggaran 2007, SK Gubernur No. 219 Tahun 2007.

[22] Hal ini dijelaskan oleh Ari Muhammad, Koordinator Bidang Adaptasi Perubahan Iklim World Wildlife Foundation (WWF) Indonesia, dalam wawancara yang dilakukan pada 28 Maret 2008 di Kantor WWF Indonesia, Jakarta.

[23] Suara Papua, “Lima Popinsi Termiskin di Indonesia”, , diakses pada 1 April 2008. Kedutaan Besar Jepang Indonesia, “Jepang memberikan bantuan hibah sebesar sekitar US $18,64 Juta untuk Empat Proyek di Indonesia”, Press Release, , 6 Juli 2007.

[24] Penerimaan dalam negeri pada Tahun 2005 adalah sebesar Rp. 379.627,1 Miliar, sementara PDRB NTB pada Tahun 2005 adalah sebesar Rp. 25.760 Miliar. Data diambil dari Bank Data Pemerintah NTB dan Bappenas, “Data Pokok APBN 2005”, , diakses pada 1 April 2008.

[25] M.A. Jaspan mencatat terdapat lebih dari 300 suku bangsa di Indonesia. M.A. Jaspan, “Daftar Sementara Suku Bangsa-Suku Bangsa di Indonesia berdasarkan Klasifikasi Letak Pulau dan Kepulauan,” dalam Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, cet-6, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003), hal. 21

0 comments:

Post a Comment