UNIVERSITAS, BENTENG PERADABAN
Wednesday, October 8, 2008
Tulisan ini memang bukan artikel hukum, namun menggambarkan pergolakan batin untuk memajukan dunia akademis di indonesia... Jika ada satu bidang yang tidak boleh terlepas dari akademiknya, maka bidang tersebut haruslah bidang hukum... sayangnya teori hukum di kampus dan prakteknya di lapangan sangat jauh berbeda.
Suatu harapan mungkinkah menjadi keniscayaan?
MAS
“Membangun UI, Membangun Peradaban.” Begitulah seruan mantan Rektor UI, Usman Chatib Warsa yang terpampang di lobi utama Universitas Indonesia, menekankan signifikansi universitas sebagai garda utama pengembangan masyarakat sipil dan pemicu dialog-dialog peradaban di Indonesia sekaligus memanggil segenap intelektual republik untuk menyegarkan kembali ilmu pengetahuan sehingga mampu menjadi kunci kehidupan kebangsaan.
Jika dihitung, ajakan yang serupa sudah dikumandangkan oleh banyak elemen akademik saat ini, terutama sejak semakin banyak sosok-sosok intelektual publik di Indonesia yang dibajak oleh kepentingan pemodal atau kekuasaan. Kepentingan-kepentingan itu bertindak layaknya venture capitalist yang bertaruh di bursa ideologi, hingga akhirnya dihasilkan produk-produk partisan dalam bentuk hasil penelitian, kesaksian di persidangan, hingga pendapat ahli yang membentuk opini publik. Dalam keadaan seperti ini, semua berpaling kepada universitas untuk memurnikan disorientasi yang ada.
Pertanyaannya kemudian adalah, seberapa siapkah universitas untuk menjadi benteng peradaban? Mampukah universitas menjawab tantangan peradaban untuk menjadi pilar utama yang membina nilai-nilai kebijaksanaan sosial (social virtue) dan artes liberal yang menyeimbangkan kebutuhan pragmatis dalam bernegara? Untuk menjawabnya, universitas harus mampu memberikan keputusan mengenai perannya di tengah dilema yang ada.
Di satu sisi, praktek kenegaraan dan pengembangan ilmu pengetahuan mengharapkan adanya penelitian yang berkualitas, aplikatif, dan independen. Namun semua pun sepakat, bahkan di negara maju yang memiliki kehidupan akademik yang lebih mapan, bahwa hal tersebut sulit untuk dicapai.
Keterbatasan pendanaan menjadi alasan klasik, sekaligus tak terbantahkan, untuk menghasilkan penelitian yang independen. Apabila pendanaan hanya berasal dari kalangan pemodal untuk menjustifikasi kepentingannya, atau dari kalangan penguasa untuk mempertahankan posisinya, salahkah para intelektual untuk lebih memilih menjalin kerjasama dengan mereka?
Dalam praktek, pendanaan riset yang independen dan non-partisan justru lebih banyak berasal dari luar negeri, baik dari institusi akademik, lembaga riset asing, maupun agen pembangunan internasional. Contoh dapat dilihat dari banyaknya program fellowship, lowongan disertasi, maupun academic grant yang ditawarkan. Namun demikian, pendanaan ini pun tidak berarti bebas kepentingan, bahkan dapat memberikan dampak yang lebih berbahaya: mulai dari brain drain, indokrinasi ideologi pembangunan, hingga berujung kepada dependensi yang berkepanjangan.
Sebagai institusi pendidikan, universitas memang bukan ditakdirkan menjadi lembaga bisnis. Kegiatan ventura lebih bertujuan untuk menghimpun dana operasional ketimbang mendukung penciptaan karya-karya intelektual.
Oleh karena itu, pendanaan penelitian dan pengabdian masyarakat yang independen, tidak terelakkan lagi, harus berasal dari partisipasi pemerintah. Jika mengambil contoh negara maju, terdapat lembaga ilmu pengetahuan nasional yang setiap tahunnya menawarkan dukungan finansial, tanpa komitmen apapun, untuk berbagai penelitian. Agaknya, untuk mencapai kondisi tersebut di Indonesia, masih jauh perjalanan yang harus ditempuh.
Dalam permasalahan lain, kebutuhan adanya “kampus rakyat” yang berkualitas juga mengemuka, dengan argumen anti-liberalisasi pendidikan menjadi jargon utama. Privatisasi pendidikan melalui peralihan status menjadi badan hukum yang memiliki kekayaan terpisah berarti memaksa universitas berpikir kreatif untuk mencari pendanaan, termasuk menghalalkan penarikan dana besar-besaran dari peserta didik.
Menjadikan peserta didik sebagai sumber pemasukan jelas bukan pilihan utama. Namun bagaimana kualitas pendidikan dan penelitian dapat dijamin jika intelektual-intelektual yang mengabdi tidak dihargai dengan kompensasi yang manusiawi? Kepada pihak mana lagi universitas harus berpaling jika pihak-pihak yang dapat menyokong dana tidak ada lagi yang dapat diandalkan?
Selain permasalahan tersebut, masih banyak lagi kendala teknis yang harus dihadapi oleh universitas. Birokrasi kampus menghambat kreativitas para intelektual, begitupula perlombaan ranking universitas dunia dapat mengalihkan perhatian dari permasalahan sebenarnya, yaitu pengembangan mental dan karakter bangsa.
Dapat disimpulkan bahwa harapan kepada universitas sebagai pembentuk diskursus peradaban begitu besar. Di satu sisi harus menjadi kampus rakyat, di sisi lain ingin berkelas internasional. Apakah harapan untuk menjadi “kampus rakyat bertaraf internasional” hanya sebatas utopia atau setidaknya keniscayaan tanpa ujung?
Pada akhirnya, berbagai diskusi filosofis dan dialog peradaban mengenai peran intelektual berujung kepada permasalahan yang membutuhkan solusi teknis dan pragmatis. Paulo Freire boleh saja beranggapan sistem pendidikan sekarang cenderung menciptakan “dehumanisasi” sehingga mengusulkan pendidikan yang menentang segala praktek, sistem kepercayaan, dan kondisi status quo yang dominan. Antonio Gramsci pun dapat mendambakan kehadiran intelektual organik yang memiliki kesadaran kritis terhadap kondisi peradaban.
Namun demikian, semuanya kembali berujung dari kapasitas universitas, sebagai basis jaringan intelektual, untuk mendayagunakan institusinya, untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, sehingga intelektual-intelektual di republik ini dapat dengan tenang melakukan refleksi mengenai berbagai permasalahan bangsa. Itulah tantangan utama permasalahan posisi universitas dalam dialog peradaban.
keren lah