Kesenian Tradisional Adalah Kekayaan Intelektual Bangsa

Friday, January 18, 2008

Oleh: M. Ajisatria Suleiman

Kegusaran masyarakat terhadap Malaysia akibat pemanfaatan tanpa ijin atas kesenian tradisional Indonesia seperti lagu rasa sayange pada jingle pariwisata Malaysia, klaim atas Reog Ponorogo, dan berbagai kasus lain sudah sewajarnya disalurkan melalui jalur hukum. Pemerintah Indonesia sebagai pemegang hak cipta berdasarkan hukum harus segera mengumpulkan bukti yang menyatakan bahwa kesenian tersebut sudah sejak lama merupakan kesenian tradisional Indonesia dan kemudian melayangkan gugatan terhadap otoritas yang berwenang di pengadilan Malaysia. Namun sesungguhnya apabila melakukan refleksi yang lebih dalam, permasalahan perlindungan hukum terhadap kesenian tradisional sebagai kekayaan intelektual memiliki dimensi yang lebih luas dari sekedar menggugat klaim hak cipta oleh pihak asing.

Kesenian tradisional adalah aset bangsa yang sangat berharga baik dari aspek ekonomi, sosial, maupun budaya. Sebagai aset ekonomis, kesenian tradisional terbukti memiliki nilai komersil yang tinggi dengan banyaknya apresiasi dari dunia internasional. Namun lebih penting lagi, kesenian tradisional adalah warisan budaya yang memiliki arti penting bagi kehidupan adat dan sosial karena di dalamnya terkandung nilai, kepercayaan, dan tradisi, serta sejarah dari suatu masyarakat lokal. Beberapa kesenian tradisional misalnya tidak hanya berfungsi sebagai hiburan belaka, namun di dalamnya terkandung penghormatan terhadap arwah leluhur dan nilai-nilai magis religius lainnya.

Hak kekayaan intelektual (HKI), khususnya hak cipta, menjadi instrumen perlindungan hukum utama atas kesenian tradisional Indonesia. Harus diakui bahwa mekanisme hak cipta memang belum sempurna dalam mengakomodasi perlindungan dan pemanfaatan yang layak bagi karya tradisional. Hak cipta merupakan hak yang dimiliki oleh individu atas ciptaannya, namun tidak mengatur mengenai hak tradisional yang dimiliki secara kolektif oleh suatu komunitas. Banyak suku di Indonesia mewarisi secara turun temurun suatu kesenian adat tradisional, sehingga pemegang hak atas kesenian tersebut bukan orang perseorangan melainkan komunitas tersebut secara keseluruhan.

Di sisi lain, sebagai suatu konsep hukum yang berasal dari kebudayaan barat, secara tradisional sesungguhnya masyarakat Indonesia tidak memahami filosofi dasar HKI. Dalam penelitian yang dilakukan di beberapa suku di Sasak dan Lombok (Sardjono: 2006, 119), ditemukan bahwa masyarakat adat ternyata tidak menganggap pengetahuan tradisional yang mereka praktekan sebagai ”miliknya.” Mereka rela apabila ada pihak lain yang menggunakan pengetahuan tersebut meskipun tanpa persetujuan terlebih dahulu karena beranggapan bahwa semakin banyak digunakan maka semakin bermanfaat pula pengetahuan itu.

Apabila seluruh unsur masyarakat di Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan potensi ekonomi kesenian tradisional sekaligus menghormati hak-hak sosial dan budaya bangsa, kondisi demikian tidak dapat dibiarkan. Beberapa langkah perlu dilakukan dengan menitikberatkan upaya pada pemberian kebebasan bagi masyarakat adat atau seniman tradisional itu sendiri dalam memilih pemanfaatan yang layak bagi ciptaannya. Dalam hal ini terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh seluruh unsur masyarakat sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing sehingga tidak dibebankan sepenuhnya kepada pemerintah.

Pertama adalah memberikan pemahaman kepada masayarakat adat dan para seniman tradisional mengenai arti penting kesenian tradisional. Apabila mereka sudah mengetahui hak-haknya yang dilindungi oleh hukum, maka kemudian mereka dapat memiliki pemahaman yang layak dan kebebasan untuk menentukan sendiri pemanfaatan ciptaan mereka.

Dalam melakukan program edukasi demikian, dibutuhkan unsur masyarakat yang dapat berbaur dengan masyarakat setempat. Untuk memberikan pemahaman terhadap komunitas adat, diperlukan pemahaman atas sistem sosial mereka sehingga dapat menjangkau pemimpin adat sebagai pengambil keputusan tertinggi. Oleh karena itu, lembaga swadaya masyarakat (LSM), tokoh budaya, dan elemen masyarakat sipil lainnya memegang peranan vital dalam mewujudkan strategi ini.

Kedua adalah memanfaatkan kesenian tradisional secara optimal dengan menghormati hak-hak sosial dan budaya masyarakat yang berkepentingan. Salah satu faktor rendahnya kesadaran hukum masyarakat akan pentingnya perlindungan atas kesenian tradisional adalah kurangnya minat terhadap kesenian itu sendiri. Tidak jarang kesenian tradisional Indonesia lebih diapresiasi oleh pihak asing dibandingkan oleh masyarakat Indonesia. Beberapa karya adaptasi atas kesenian tradisional Indonesia justru dilakukan oleh seniman asing dan ternyata mendapat sambutan yang positif.

Seluruh pemangku kepentingan pada industri kesenian, produser musik contohnya, harus berpartisipasi dalam mendorong perkembangan kesenian tradisional. Di sisi lain, pelaku industri ini juga harus memberikan kompensasi yang layak sebagai wujud perlindungan hukum atas seniman tradisional. Sebagai pihak swasta, langkah ini dapat dikategorikan sebagai program kepedulian sosial (corporate social responsibility).

Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat terdapat perusahaan bernama Shaman, Inc. yang menjalankan usaha pengembangan teknologi dan pemasaran atas obat-obatan tradisional yang diramu oleh penyembuh tradisional (dukun) di Amerika Latin. Mereka mengembangkan dan menjual produk obat tradisional dengan memberikan royalti yang layak kepada penyembuh tradisional tersebut. Pelaku industri seni dapat mengadopsi mekanisme yang sama terhadap kesenian tradisional.

Ketiga adalah melakukan dokumentasi yang komprehensif. Dokumentasi yang memadai atas kesenian tradisional Indonesia berfungsi sebagai mekanisme perlindungan defensif untuk menanggulangi penyalahgunaan (misappropriation) instrumen HKI terhadap pengetahuan tradisional Indonesia di luar negeri.

Dokumentasi ini yang kemudian dapat dimanfaatkan oleh advokat-advokat Indonesia sebagai dasar pembuktian bahwa suatu kesenian yang didaftarkan atau dimanfaarkan di luar negeri adalah tidak orisinal sebagaimana dipersyaratkan dalam hukum hak cipta internasional. Dalam kasus lagu “rasa sayange” misalnya, apabila Indonesia memiliki dokumentasi yang mendukung lagu tersebut sebagai lagu tradisional Indonesia yang sudah dipraktekan sejak lama, maka sudah didapatkan dasar gugatan yang memadai. Dokumentasi ini dapat berupa rekaman, manuskrip, atau laporan penelitian.

Proses dokumentasi harus dilakukan dengan melibatkan segenap elemen akademisi, peneliti, dan praktisi di bidang hukum, kesenian, musikologi, antropologi, jurnalisme, budaya, dan unsur lain yang terkait. Untuk menekan biaya dokumentasi, partisipasi masyarakat juga harus dibuka seluas-luasnya sehingga data dan informasi dapat diperoleh dari berbagai sumber.

Pada akhirnya, setiap langkah yang dilakukan membutuhkan dukungan pemerintah sehingga tercipta upaya yang komprehensif, sistematis, dan berkelanjutan. Pelaksanaan edukasi hukum atas kesenian tradisional dan kemitraan antara pelaku industri seni dengan masyarakat tradisional harus berada dalam pengawasan pemerintah. Sementara itu, pemerintah juga harus menjadi ujung tombak proses dokumentasi dan pengajuan gugatan terhadap setiap pihak asing yang menyalahgunakan kesenian tradisional Indonesia. Tujuan akhir dari seluruh langkah ini tentu saja adalah meningkatkan daya saing bangsa sekaligus mengembangkan harkat dan martabat sosial budaya Indonesia, baik pada tingkat domestik maupun internasional.


Posted by Fiat Justitia at 10:42 AM

0 comments:

Post a Comment