Memimpin KPK Butuh Orang Seperti Apa?

Friday, January 18, 2008

Oleh: M. Ajisatria Suleiman

Belum diberikan kesempatan untuk membuktikan kinerjanya, masyarakat sudah berontak terhadap Pimpinan KPK periode 2007-2011 yang baru saja terpilih pada 5 Desember 2007 lalu. Antasari Azhar, berlatar belakang sebagai jaksa, dianggap tidak memiliki integritas karena disinyalir terlibat dalam berbagai praktek korupsi dan suap. Antasari rupanya menanggapi dengan tenang kritik tersebut dan berjanji akan membuktikannya melalui kinerja.

Uniknya, sebelum kontroversi Antasari dimulai, salah satu anggota Panitia Seleksi Pimpinan KPK (Pansel) yang memberikan nama Antasari ke DPR, Rhenald Kasali, memberikan pernyataan yang menarik di salah satu surat kabar nasional pada bulan Oktober (Kompas, 8/10/2007). Ia mengutip tokoh nasional Prof. Komarudin Hidayat yang juga merupakan anggota Pansel yang menyatakan bahwa "Hanya mobil yang tak pernah keluar garasilah yang tak ada cacatnya." Rhenald menambahkan bahwa orang jujur saja tidak cukup untuk memberantas korupsi. Selain jujur ia harus memiliki keberanian dan kemampuan. Orang jujur yang ‘baik’ bisa berubah menjadi ‘jahat’ apabila ia tidak memiliki kemampuan untuk memimpin dan membangun institusi ia berada.

Ditambah lagi salah satu anggota Panitia Seleksi Pimpinan KPK (Pansel) yang merupakan seorang guru besar ilmu hukum diberikan pertanyaan, “mengapa tidak ada akademisi yang lolos dari seleksi pimpinan KPK?” Sang profesor menjawab bahwa pemberantasan korupsi membutuhkan keterampilan praktis dan kemampuan menguasai medan. Akademisi relatif menguasai teori pemberantasan korupsi secara komprehensif, namun kurang pengalaman dalam melihat korupsi dalam praktek bisnis dan pemerintahan yang konkret.

Terakhir, pernyataan M. Yasin, Wakil Ketua KPK yang dikalahkan oleh Antasari pada pemilihan di DPR, juga patut disimak. Dalam sebuah diskusi publik pada bulan Januari 2008, ia berkata bahwa pada awalnya ia juga memiliki keraguan yang sama terhadap Antasari. Namun setelah mulai bekerjasama dengan yang bersangkutan dalam hari-hari pertama memimpin KPK, skeptisme tersebut hilang dan ia menaruh kepercayaan besar terhadap Ketua KPK periode baru tersebut.

Ada benang merah menarik yang didapatkan dari pernyataan-pernyataan tersebut. Rhenald dan Komarudin seolah sudah bisa memprediksi siapa yang akan dipilih menjadi Ketua KPK. Bahkan jauh sebelum kontroversi muncul, mereka sudah memberikan justifikasi atas pilihannya. Begitupula dengan pernyataan sang profesor hukum dan juga M. yasin. Jika dikaitkan dengan polemik saat ini, pernyataan-pernyataan mereka dapat ditafsirkan menjadi:

“Antasari memang bukan ‘orang baik,’ namun ia memiliki kemampuan untuk memberantas korupsi. Kemampuan ini didapatkan dari pengalamannya dalam memberantas praktek korupsi, bahkan mungkin sedikit banyak terlibat dalam praktek tersebut. Ia memang bukan ‘orang jujur,’ namun ia mampu melihat praktek sesungguhnya dari korupsi dan dari situ lah ia bisa memberantas korupsi dengan baik. Berikan ia kesempatan dan anda akan melihat pembuktiannya.”


Pansel KPK diisi oleh orang-orang yang berintegritas, mulai dari tokoh agama, ahli hukum, aktivis LSM, ahli manajerial, dan lainnya. Mereka lah yang sejak awal meloloskan nama Antasari ke DPR. Jika memang demikian, seharusnya mereka memiliki alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Apakah alasan di atas memang alasan sebenarnya terpilihnya Antasari, bukan alasan politis seperti selama ini didengungkan?

Jika memang seperti ini duduk perkaranya, entah hal ini dapat dianggap sebagai kehancuran atau justru kemajuan pemberantasan korupsi.

Benarkah dalam memberantas korupsi harus digunakan logika hacker komputer atau informan narkoba? Satuan unit cybercrime kepolisian memang banyak menggunakan hacker yang ditangkap oleh mereka untuk membantu melacak kejahatan-kejahatan di dunia maya. Begitupula mantan pengedar narkoba tidak jarang dijadikan informan bagi aparat penegak hukum untuk menjabarkan peta distribusi dan pemasaran narkoba. Jika logika ini yang dipakai, berarti kehadiran Antasari adalah sebagai ‘orang dalam’ yang mengetahui secara jelas seluk beluk korupsi yang akan digunakannya untuk memberantas korupsi tersebut.

Jika integritas Antasari sudah dipertanyakan, agaknya kita harus berharap bahwa ia memang memiliki keahlian khusus yang tidak dimiliki oleh calon pimpinan yang lain. Pertama, sejauh mana ia dapat memimpin dan membangun organisasi KPK, termasuk hubungan dengan pimpinan lainnya, pengelolaan anak buah, pengembangan sistem organisasi, dan membangun budaya berbasis kinerja. Kedua, sejauh mana ia dapat berkoordinasi dengan lembaga lain, karena KPK bukan pemain tunggal. Pemberantasan korupsi harus dilakukan di dalam satu ‘SISTEM INTEGRITAS NASIONAL’ yang terdiri dari lembaga seperti DPR, KY, Kejaksaan, Kepolisian, BPK, Ombudsman, Komisi Kejaksaan, PPATK, asosiasi profesi, Departemen Keuangan, elemen masyarakat sipil, bahkan perguruan tinggi, mahasiswa, tokoh adat, dan tokoh agama. Ketiga, sejauh mana ia mampu berkomunikasi dengan masyarakat yang sudah tidak sabar lagi menunggu kinerjanya.

Yang jelas, antara KEMAMPUAN dan KEMAUAN adalah dua hal yang jelas berbeda. Antasari mungkin memiliki kemampuan yang memadai sebagai hasil dari ‘pengalaman-pengalamannya’ terdahulu. Namun belum tentu ia memiliki kemauan dalam mengeluarkan seluruh kemampuan tersebut. Bisa jadi ia terhambat oleh keberanian, keengganan memberantas ‘teman-temannya sendiri,’ atau bahkan orang-orang yang tidak menyukainya dapat mengancam untuk ‘mengutak-utik masa lalunya.’ Semakin banyak dosa yang pernah ia lakukan, semakin terbatas tindakan ia lakukan di masa depan.

Antasari bisa menjadi berkah sekaligus blunder. Jika ia memang bisa membuktikan kemampuannya, maka gerakan anti korupsi pun menang. Namun jika sampai terjadi ia terungkap melakukan tindak pidana korupsi atas perbuatannya di masa lalu sehingga ia harus menjalani proses peradilan, maka Indonesia akan terluka. Tidak hanya kredibilitasnya saja yang hancur, namun harapan dari seluruh masyarakat Indonesia akan hancur seketika ketika icon pemberantasan korupsi ternyata terlibat kasus korupsi juga.


Menyoal Peran DPR dalam seleksi KPK

Apakah semua ini salah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)?

DPR dianggap memilih berdasarkan kepentingan politis. DPR dianggap sebagai lembaga korup yang tidak layak untuk menyeleksi lembaga anti korupsi. Padahal secara filosofis, lembaga yang paling tepat untuk memilih Pimpinan KPK tidak lain adalah DPR. DPR adalah perwakilan rakyat, sehingga memang memiliki kompetensi untuk memilih pimpinan lembaga independen. Jika dipilih oleh Presiden, maka pimpinan KPK akan berhutang budi kepada Presiden sehingga tidak dapat dikatakan independen lagi.

Jika memang ada yang salah dari pemilihan Pimpinan KPK, hal ini semata-mata karena kualitas dan integritas dari anggota DPR, bukan lembaga DPR itu sendiri. Terkadang kita tidak dapat membedakan kesalahan individu dan kesalahan sistem. Sistem yang sudah baik jangan diubah apabila kegagalannya akibat individu yang berada di dalam sistem tersebut, melainkan ubahlah individunya.

Lalu apa solusinya?

Pansel KPK yang diisi oleh orang-orang berintegritas harus dimaksimalkan perannya. Jika memang DPR membutuhkan lima nama Pimpinan KPK, maka berikan saja mereka lima nama, tidak perlu sepuluh. Jika mereka tidak menyetujui lima nama tersebut, baru berikan lima nama berikutnya, begitu seterusnya hingga disetujui oleh DPR. Setelah lima nama itu disetujui pun, biarkan pemilihan ketua diserahkan kepada lima pimpinan tersebut. Ingat, segala keputusan yang menyangkut kewenangan ekseternal KPK adalah atas nama Pimpinan KPK, bukan atas nama Ketua KPK. Dengan demikian, kelima pimpinan pun sebenarnya memiliki kewenangan kolektif sehingga pemilihan ketua pun lebih baik dilakukan secara internal. Sistem ini memiliki dua kelebihan.

Pertama, menjamin kesolidan tim pimpinan. Pansel dalam menyeleksi pimpinan tidak boleh hanya melihat lima nama terbaik saja, namun harus melihat lima nama yang sanggup bekerja sama. Seseorang bisa saja memiliki integritas dan kualitas, namun jika ia tidak dapat bekerjasama dengan empat rekannya maka kelebihannya itu menjadi sia-sia. Pemberian lima nama ke DPR akan memperkuat kesolidan ini karena komposisi akan ditentukan oleh Pansel, bukan DPR. Apalagi jika ketua dipilih internal, maka kesolidan tim akan lebih terjaga.

Kedua, mengurangi permainan politik di DPR. Permainan politik adalah fakta empiris yang sudah tidak dapat lagi berlindung pada argumentasi idealis. DPR tetap harus memilih Pimpinan KPK, namun dapat diupayakan untuk mengurangi ekses negatif permainan politik.

Jadi, Pak Pimpinan KPK, kita tunggu kinerja anda… Kita tidak ingin menaruh terlalu banyak harapan namun kami akan sangat senang jika diberikan kejutan.


Januari 2008

Salam,

M. Ajisatria Suleiman

Posted by Fiat Justitia at 9:51 AM

0 comments:

Post a Comment