PERKEMBANGAN PERJANJIAN PERTANIAN WTO

Tuesday, June 10, 2008

by: M. Ajisatria Suleiman

Dalam pertemuan keempat Konferensi Tingkat Menteri (KTM) World Trade Organization (WTO) di Doha, Qatar pada bulan November 2001, diadopsi sebuah agenda besar mengenai pembentukan putaran baru negosiasi perdagangan yang dikenal dengan nama Doha Development Round (DDR), atau Putaran Doha. Putaran Doha memiliki visi untuk membentuk konsep baru liberalisasi di bidang pertanian, tarif, jasa, rencana implementasi program, potensi reformasi dalam sistem penyelesaian sengketa, serta empat bidang yang disebut dengan ”Singapore Issues,” yaitu persaingan usaha, investasi, transparansi dalam pengadaan barang pemerintah, dan fasilitas perdagangan. Di antara topik-topik perundingan tersebut, perjanjian pertanian menjadi perhatian negara berkembang karena sektor ini menjadi pilar ekonomi di banyak negara berkembang.

Perundingan bidang pertanian ini berkaitan dengan hasil kesepakatan sebelumnya dalam Putaran Uruguay (1986-1994) yang membentuk WTO sekaligus membentuk perjanjian pertanian yang tercantum dalam WTO Agreement Annex 1A mengenai Multilateral Agreement on Trade in Goods. Perjanjian ini mempunyai tiga pilar utama, yaitu akses pasar, pengurangan dukungan domestik, dan pengurangan subsidi. Negara peserta perjanjian sepakat untuk meninjau kembali perjanjian ini, terutama yang berkaitan dengan akses pasar dan subsidi pertanian, dalam waktu enam tahun (10 tahun bagi negara berkembang) sejak perjanjian berlaku efektif pada tahun 1995. Namun, sejak tahun 1999, negara peserta sepakat untuk mempercepat peninjauan kembali tersebut sampai pada akhirnya dirundingkan dalam Putaran Doha.

Kegagalan Putaran Doha
Selanjutnya dalam KTM ke-5 di Cancun, Mexico pada bulan November 2003 direncanakan untuk dibentuk kesepakatan kerangka kerja (framework agreement) mengenai perundingan perjanjian pertanian, selain menentukan arah perundingan yang menyangkut Singapore Issues. Namun, para menteri gagal untuk mencapai kesepakatan dalam koferensi ini. Sejak itu, delegasi negara anggota mencoba membangkitkan kembali arah perundingan Putaran Doha dengan membuat dua framework agreement pada bulan Juli 2004 dalam bidang pertanian. Pertama menyangkut liberalisasi dari akses pasar serta penurunan bantuan domestik dan subsidi ekspor untuk produk pertanian. Sedangkan yang kedua menyangkut liberalisasi perdagangan untuk produk barang dan jasa nonpertanian. Tindak lanjut perundingan pertanian tetap tidak menemui titik temu dalam KTM ke-6 di Hong Kong, Cina 13-18 Desember 2005. Bahkan pada bulan Juli 2006, perundingan Putaran Doha terhenti sama sekali karena tidak tercapai kesepakatan antara negara-negara anggota.

Kegagalan KTM WTO dan forum lainnya menunjukan perbedaan pandangan yang tidak dapat disatukan di antara negara berkembang dan negara maju dalam menyikapi isu pertanian. Perjanjian pertanian WTO dianggap tidak mengakomodasi kepentingan petani miskin dan negara berkembang, sementara juga tidak memberikan solusi terhadap pembangunan masyarakat miskin dan masalah ketahanan pangan. Perjanjian ini semakin membatasi peran pemerintah dalam melindungi industri pertanian domestik (dimana pengaturan yang diberikan lebih mengikat negara berkembang dibandingkan terhadap negara maju) dan semakin membuka batas-batas negara dalam perdagangan produk pertanian. Oleh karena itu, revisi besar diperlukan untuk menciptakan perdagangan yang adil (fair trade) dan pemberian perlakuan khusus bagi negara berkembang. Permasalahan ini pula yang menyebabkan Putaran Doha belum dapat diselesaikan sampai sekarang, sedangkan batas waktu yang ditetapkan sudah terlewati.

Beberapa Subtansi Perdebatan
Sebagai contoh, komoditas pertanian dari negara maju disubsidi besar-besaran oleh pemerintah mereka kemudian dijual ke pasar global. Akibatnya, komoditas ini mampu diproduksi dibawah harga standar produksi dan mengakibatkan harga komoditas tersebut di pasar global turun. Hal ini menyebabkan produk pertanian di negara berkembang yang tidak memiliki sistem jaring pengaman (safety net) tersingkir dari pasar, dan para petani miskin pun semakin terjerumus dalam kemiskinan. Kebijakan pertanian negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa memang sampai saat ini masih memberikan subsidi yang tinggi untuk produk pertaniannya. Negara berkembang saat ini mengusulkan diberlakukannya mekanisme countervail (pajak impor yang dikenakan oleh suatu negara terhadap barang impor negara lain sebagai tindakan balasan karena negara yang memasok barang memberikan subsidi terhadap barang tersebut) yang sederhana terhadap produk pertanian dari negara maju untuk menyeimbangkan subsidi tersebut.

Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Oxfam,[1] negara maju memberikan banyak hambatan perdagangan (trade barriers) bagi produk pertanian negara berkembang, seperti kenaikan tarif (tariff escalation) dan standar impor yang ketat yang merugikan produk dari negara berkembang seperti gula dan cocoa. Permasalahan di luar liberalisasi pasar adalah rentannya (volatily) harga komoditas serta adanya kontrol monopolistik dari pasar global yang dilakukan oleh perusahaan besar dengan memperdagangkan produk pertanian dengan harga sangat rendah.

Negara berkembang juga mengusulkan fleksibilitas kebijakan dalam perjanjian pertanian dalam rangka memenuhi ketahanan pangannnya. Kebijakan ini antara lain instrumen yang mengijinkan negara berkembang melindungi pasar domestiknya dari kenaikan tingkat impor, membentuk program dukungan domestik (domestic support program) untuk meningkatkan kapasitas petani miskin, dan mengecualikan beberapa produk pertanian yang vital bagi kehidupan ekonomi petani miskin. Namun proposal ini mendapat tentangan dari negara maju.

Menyelesaikan Kebuntuan Putaran Doha
Adanya kebuntuan (deadlock) dalam perundingan Putaran Doha, khususnya menyangkut perjanjian pertanian tidak dapat diselesaikan apabila antara negara maju dan negara berkembang tetap dalam posisinya masing-masing. Namun peran yang besar berada pada negara maju, terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa, yang memegang kunci penting dalam pengambilan keputusan agar dapat menyelesaikan putaran ini. Negara maju harus memperbaiki proposal mereka yang mengakomodasi kepentingan negara berkembang.

Susan Schwab, perwakilan perdagangan AS untuk Uni Eropa, mengatakan bahwa saat ini antar negara sudah mulai dilakukan perbincangan bilateral untuk membahas isu-isu mengenai perjanjian pertanian.[2] Langkah ini dapat menjadi awal disepakatinya isu pertanian dalam Putaran Doha. Perbincangan tersebut dimaksudkan untuk menyiapkan posisi pada perundingan pertanian informal yang dilakukan pada 27 Januari di sela-sela acara World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss pada 24-28 Januari 2007. Ketua kelompok negara berkembang G-33 yang juga Menteri Perdagangan Indonesia, Marie Elka Pangestu, mengatakan bahwa dalam pertemuan Davos tersebut peran Amerika Serikat sangat vital untuk menentukan keberlangsungan Putaran Doha.[3]

Menanggapi hal ini, beberapa negara maju sudah mengumumkan niatnya untuk menurunkan subsidi pertanian. Misalnya Amerika Serikat menawarkan pemotongan total subsidi pertanian kepada petaninya, kabarnya, turun ke angka $ 15 milyar dolar dalam amandemen farm bill yang sedang dibahas di Congress. Uni Eropa juga menawarkan pemotongan keseluruhan jumlah subsidinya sampai sekitar 70 persen. Pengurangan itu nampak sangat drastis, dua negara besar itu pun terlihat menunjukkan niat baik agar perundingan Putaran Doha berjalan kembali. Namun keadaan ini justru membuat sulit posisi negara berkembang karena mereka juga dituntut untuk menurunkan tawarannya misalnya dengan memperlemah proposal pada kelompok Negara G33. Apabila kelompok-kelompok negara berkembang itu menolak, maka AS dan UE bisa mengumumkan bahwa Negara-negara berkembang itulah menyebabkan perundingan terhenti. Beberapa pihak justru menganggap langkah yang dilakukan oleh AS dan UE tersebut patut diwaspadai karena belum tentu sepenuhnya menguntungkan kepentingan negara berkembang.

Sebagaimana tercantum pada Komunike Negara G-33 yang dikeluarkan sebagai hasil pertemuan yang dilangsungkan pada 21 Maret 2007 di Jakarta, negara berkembang pada dasarnya menyambut baik komitmen politik yang diberikan, terutama oleh AS, dalam menyikapi kebuntuan perundingan ini. Dalam pertemuan yang dilakukan untuk menyatukan visi dalam lanjutan Putaran Doha di Geneva pertengahan 2007 ini, G-33 juga memberikan perhatian yang besar terhadap indikator yang transparan dengan pendekatan rasional dan sederhana dalam menentukan kriteria komoditas yang masuk dalam special products (SP). Sementara itu, Uni Eropa dan G-10 yang dimotori Brasil sepakat untuk mendukung keputusan kelompok G-33 untuk menyampaikan posisinya menyangkut mekanisme Special Products (SP)/ Special Safeguard Mechanism (SSM) secara lebih jelas dan transparan dalam perundingan Putaran Doha, sebagaimana telah disepakati dalam KTM di Hong Kong.

Dengan mulai terlihatnya beberapa kesepakatan antara negara-negara peserta perundingan, bukan tidak mungkin Putaran Doha menyangkut perjanjian pertanian akan dapat diselesaikan. Apalagi untuk beberapa bidang pembahasan lain dalam Putaran Doha, misalnya mengenai amandemen perjanjian Trade Related Aspects on Intellectual Property Rights sudah tercapai kesepakatan. Situasi demikian dapat dijadikan pemicu bagi masing-masing negara untuk meninjau kembali tuntutannya demi terselesaikannya perundingan pertanian. Meskipun demikian, titik berat perundingan tetap harus diletakan pada kepentingan negara berkembang mengingat pengaturan pertanian selama ini cenderung merugikan negara berkembang. Apalagi, konsep utama Putaran Doha adalah ”Putaran Pembangunan” (Development Round) sehingga orientasi pemerataan pembangunan melalui penghilangan kesenjangan antara negara maju dan negara berkembang harus menjadi fokus. Selain itu, hasil Putaran Doha, khususnya bidang pertanian, harus selalu mengacu pada pemenuhan target Millenium Development Goals (MDGs), sehingga ketahanan pangan dan penghapusan pemiskinan, terutama bagi petani miskin, harus lebih diperhatikan dalam perundingan pertanian di WTO.


[1] http://www.globaljust.org/news_detail.php?catagori=&id=91
[2] http://useu.usmission.gov/Article.asp?ID=C53747E6-2EC1-4954-8064-40586E9CBAFB
[3] http://perpustakaan.bappenas.go.id/pls/kliping/data_access.show_file_clp?v_filename=F12599/%20Pertemuan%20menteri-BI.htm

Posted by Fiat Justitia at 12:48 PM

0 comments:

Post a Comment