Putaran Doha dan Ancaman Pemanasan Global

Tuesday, June 10, 2008

by: M. Ajisatria Suleiman



Akhir 2007 merupakan momentum untuk meningkatkan kesadaran global mengenai bahaya pemanasan global yang mengancam dunia. Konferensi Perubahan Iklim digelar di Bali, pada 8-9 Desember 2007 dengan diamati oleh seluruh elemen masyarakat guna memberikan hasil yang maksimal dan memberikan solusi yang optimal bagi kesepakatan-kesepakatan yang akan tercapai. Perang melawan pemanasan global membutuhkan berbagai pendekatan, termasuk dari aspek perdagangan internasional. Dari hal ini, organisasi perdagangan dunia, World Trade Organization (WTO), dapat menunjukan perannya.


Direktur-Jenderal WTO, Pascal Lamy, dalam pidatonya pada Dialog Informal Menteri Perdagangan, Konferensi Perubahan Iklim di Bali, Desember 2007, menyatakan bahwa perundingan Putaran Doha mengenai perdagangan barang dan jasa lingkungan hidup dapat memberikan kemenangan ganda (double win) bagi negara anggota WTO, kemenangan bagi lingkungan hidup, dan kemenangan bagi perdagangan. Lamy menyatakan bahwa regulasi WTO dapat membuktikan fungsinya yang menentukan dalam melawan pemanasan global, namun dibutuhkan konsensus global tentang bagaimana cara melawan permasalahan bersama tersebut.
Persimpangan isu antara pemanasan global dan perdagangan internasional dapat timbul melalui berbagai macam pendekatan. Meskipun WTO tidak memiliki aturan yang secara khusus mengenai energi, lingkungan hidup, ataupun pemanasan global per se, namun tidak dapat dipungkiri bahwa hukum perdagangan internasional relevan dalam membahas pemanasan global.


Sistem perdagangan multilateral dianggap memiliki peran yang cukup signifikan dalam menghadapi pemanasan global. Beberapa pihak berpendapat bahwa sistem ini dapat mengatur karbon yang dihasilkan oleh emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam proses produksi, transportasi internasional, dan konsumsi berbagai barang dan jasa. Sementara itu, pihak yang lain berpendapat bahwa sistem perdagangan multilateral dapat ‘menyeimbangkan’ kerugian yang diderita akibat menangani pemanasan global. Secara lebih spesifik, ada gagasan untuk mengenakan biaya ekonomi atas produk yang diimpor ke suatu negara seimbang dengan biaya yang dikeluarkan dalam mengatur emisi negara tersebut.


Tentu saja masih terdapat beragam ide lain mengenai cara menyeimbangkan langkah-langkah yang dilakukan dalam mengatasi pemanasan global, termasuk diskusi mengenai sektor ekonomi yang paling banyak volume perdagangannya dan membutuhkan energi yang besar seperti produksi besi dan baja. Dalam membahas isu ini, gagasan yang dilontarkan berkisar antara pengenaan pajak karbon baik domestik maupun yang terkait dengan perdagangan internasional seperti sistem cap-and-trade yang melibatkan juga importir. Gagasan lainnya juga adalah dengan meningkatkan perdagangan ‘barang dan jasa lingkungan hidup’ yang relevan dengan pemanasan global melalui Putaran Doha. Mayoritas dari ide tersebut adalah pengenaan pajak dalam transaksi transnasional, namun ada juga yang merumuskan konsep untuk menghindari pemanasan global melalui regulasi subsidi dan bahkan hak kekayaan intelektual.


Namun demikian, untuk merumuskan konsep hukum perdagangan internasional dalam menangani pemanasan global terlebih dahulu dibutuhkan kesamaan paham dari negara-negara di dunia mengenai cara mengatasi pemanasan global, termasuk negara-negara industri yang tergabung dalam Annex I Konvensi Perubahan Iklim. Tanpa adanya kesatuan pandangan dasar secara konsensual dari negara-negara tersebut, akan sangat sulit tercapai mekanisme perdagangan internasional yang diterima oleh seluruh pihak.


Regulasi perdagangan tidak dimaksudkan untuk menggantikan regulasi lingkungan hidup. Oleh karena itu, regulasi dari Perjanjian WTO beserta lampirannya dimaksudkan hanya menjadi salah satu solusi dari kerangka besar upaya mengatasi pemanasan global. Forum WTO bukanlah forum utama dalam menyelesaikan pemanasan global, yang mana forum yang tepat adalah forum lingkungan hidup seperti United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Dari perjanjian semacam itu baru kemudian diberikan kerangka dasar pembangunan berkelanjutan yang kemudian menjadi acuan bagi sistem perdagangan internasional pada WTO.
Tanpa adanya kerangka yang diberikan forum lingkungan hidup tersebut, maka akan timbul kebingungan dalam merumuskan respon dari sistem perdagangan multilateral. Kerangka dalam perjanjian lingkungan hidup multilateral lah yang akan memandu perjanjian lain seperti WTO maupun aktor-aktor ekonomi lainnya dalam mengatasi eksternalitas negatif yang timbul dari kerusakan lingkungan hidup. Berdasarkan perjanjian tersebut, akan dinilai apakah suatu tindakan perdagangan atau langkah-langkah ekonomi yang ditempuh suatu negara dapat dijustifikasi dari sudut pandang perlindungan lingkungan hidup.


Dalam mewujudkan sistem yang menunjung kesepakatan mengenai perubahan iklim, setiap negara harus merefleksikan peran perdagangan internasional dalam kesepakatan tersebut. Perdagangan dapat mewujudkan keuntungan karena efisiensi, yakni menciptakan spesialisasi produksi di antara negara-negara di dunia. Perdagangan internasional juga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang mana dapat meningkatkan kemungkinan suatu negara meningkatkan investasinya dalam pencegahan polusi, andai saja terdapat kemauan politik dari negara tersebut. Agar gagasan tersebut dapat diwujudkan, harus dibangun terlebih dahulu paradigma perlindungan lingkungan hidup yang kemudian akan menjadi pondasi bagi sistem perdagangan.


Dengan kata lain, regulasi dalam WTO tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu alat dalam mengatasi pemanasan global. Regulasi dalam WTO mengatur mengenai standar produk, yang mana terdapat suatu standar internasional mengenai suatu produk. Selain itu, WTO juga mengatur subsidi, pajak, hak kekayaan intelektual, dan aspek-aspek lainnya. Seluruh regulasi tersebut dapat membantu mengurangi pemanasan global sepanjang terdapat suatu parameter lingkungan hidup atas peran instrumen tersebut.


Parameter demikian yang harus ditentukan oleh masyarakat lingkungan hidup, bukan masyarakat perdagangan. Tanpa adanya parameter tersebut, pengaturan yang terdapat dalam WTO akan menjadi tarik ulur kepentingan politik dari negara-negara anggotanya karena setiap negara dapat memiliki interpretasi tertentu terhadap suatu tujuan perlindungan lingkungan hidup. Pada akhirnya, baik tujuan perlindungan lingkungan hidup maupun tujuan perdagangan tidak akan tercapai.


Telah dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu ide mengenai peran WTO adalah membuka pasar atas produk ramah lingkungan dan jasa perlindungan lingkungan hidup. Perundingan Doha misalnya menawarkan untuk meningkatkan akses terhadap produk seperti scrubbers, air filter, atau jasa pengelolaan energi. Namun sebagaimana sudah diduga, sangat sulit untuk menentukan kategori barang dan jasa yang termasuk dalam kategori bidang lingkungan hidup. Menurut ahli ekonomi, pasar global mengenai barang dan jasa bidang lingkungan hidup diperkirakan berjumlah 550 miliar dollar setiap tahunnya. OECD memperkirakan bahwa 65 persen dari jumlah tersebut terkait dengan jasa lingkungan hidup, sementara sisanya (35 persen) adalah produk lingkungan. Berdasarkan jumlah tersebut, industri barang dan jasa yang berkembang dalam rangka mengurangi efek pemanasan global memiliki proporsi yang cukup besar.
Dalam konteks Putaran Pembangunan Doha bagian perlindungan lingkungan hidup, yang di dalamnya tercakup materi subsidi pertanian dan pencarian hubungan antara regulasi WTO dengan perjanjian lingkungan hidup multilateral, negosiasi mengenai barang dan jasa lingkungan, dapat berbuah kemenangan ganda bagi perdagangan maupun lingkungan hidup. Sebagai contoh, liberalisasi jasa ini dapat menguntungkan Indonesia dua kali lipat sebagai salah satu eksporter steam condensers terbesar di dunia. Sementara itu, keuntungan serupa bisa didapatkan India yang mengekspor turbin hidrolik; Malaysia yang mengekspor photovoltaic cells; atau Thailand yang mengekspor mesin penyaring dan penjernih gas.


Kesempatan untuk membuka sektor barang dan jasa lingkungan hidup sangat terbuka di Putaran Doha. Namun dalam melakukan hal ini, sebelumnya perlu terdapat suatu perjanjian internasional yang mendorong permintaan atas barang dan jasa tersebut. Misalnya kesepakatan untuk mengurangi emisi GRK dapat mendorong pemanfaatan teknologi ramah lingkungan, dan dengan demikian perdagangan atas barang dan jasa ramah lingkungan akan meningkat. Apabila akses pasar atas barang dan jasa tersebut dibuka, maka manfaatnya tentu akan semakin berlipat. Berdasarkan contoh di atas terlihat bahwa harus terdapat parameter atau kerangka lingkungan hidup yang jelas untuk kemudian regulasi perdagangan internasional akan mendukungnya.

0 comments:

Post a Comment