PILKADA SULSEL: REALIS, PROGRESIF, ATAU INKOMPETEN?

Thursday, December 27, 2007

PILKADA SULSEL: REALIS, PROGRESIF, ATAU INKOMPETEN?
M. Ajisatria Suleiman


Putusan Mahkamah Agung dalam sengketa Pilkada Sulawesi Selatan yang mengharuskan dilangsungkan Pilkada ulang menuai kritik dari berbagai aspek. Dari aspek sosial, banyak pihak mengkhawatirkan biaya sosial yang timbul akibat putusan tersebut, termasuk waktu yang terbuang dan konflik politik yang akan timbul di masyarakat. Sementara dari aspek yuridis, kecaman dialamatkan pada kegagalan hakim membedakan makna “Pilkada ulang” dengan “pemungutan suara ulang,” selain juga perdebatan mengenai putusan yang dianggap melampaui kewenangan yang dimiliki Mahkamah. Oleh karena itu, hakim dalam kasus ini dianggap inkompeten karena tidak menguasai hukum mengenai Pilkada (dan tentang pemerintahan daerah) secara komprehensif.

Benarkah demikian? Sebaliknya, dapatkah dianggap bahwa hakim dengan pendekatan realis, artinya hakim memandang jauh melewati undang-undang dan mencoba menerapkan hukum yang sesuai dengan kenyataan pada masyarakat, yakni memang karena dalam kasus ini sangat sulit menentukan jumlah suara secara pasti akibat berbagai faktor. Atau mungkin hakim berpikir progresif, tidak mengambil pendekatan secara formalistik sesuai dengan hukum positif, namun justru mendobrak ketentuan yang berlaku untuk mencari keadilan yang materil pada masyarakat?

Gagasan Realisme Hukum pada Pemikiran Hakim

Sebelum membahas lebih jauh mengenai pendekatan yang digunakan hakim ini, perlu diulas singkat mengenai mazhab realisme hukum yang muncul dan cukup terkenal dari Amerika Serikat (AS). Realisme hukum menekankan besarnya peranan hukum terhadap “perubahan sosial” untuk mengimbangi besarnya pengaruh ideologi politik yang mereka hadapi. Realisme hukum di AS merupakan proses formulasi yuridis-akademik, yang mana kaum realisme ingin menempatkan suatu peran pembaruan lebih besar di kaki badan judikatif dan memang itulah yang kemudian terjadi. Seiriing dengan ideologi ‘law as a tool of social engineering’ dari Roscoe Pound, terciptalah yudisialisasi dari proses politik (judicialization of politics) dan kehidupan sosial secara dramatis sehingga menempatkan pengadilan di AS pada posisi yang sangat kuat dalam menentukan kebijakan publik.

Bagi kaum realis, hukum tidak dapat ditemukan hanya dengan melakukan penyelidikan terhadap aturan-aturan hukum semata sehingga mengabaikan fakta di masyarakat. Makna fundamental dari hukum adalah interaksinya yang kuat dengan aspek-aspek lainnya pada masyarakat, tidak terbatas pada disiplin ilmu hukum. Dalam pandangan Hakim Holmes, seorang hakim dapat memenuhi fungsi-fungsinya hanya kalau ia secara memadai mengenal banyak aspek hukum, mulai dari antropologi, ilmu tentang manusia, ekonomi politik, teori-teori perundang-undangan, etika, dan masih banyak lagi sesuai dengan realitas nyata masyarakat. Oleh karena itu, dalam dissenting opinion-nya dalam kasus terkenal Lochner vs New York (US Supreme Court, 1905), Hakim Wendell Holmes mengabaikan prinsip hukum tradisional ‘asas kebebasan berkontrak’ dan lebih melihat kondisi riil dari kaum buruh yang membutuhkan perlindungan sosial dari sistem ekonomi kapitalisme.

Mencari Hakim Progresif, Sulitkah?

Gagasan mengenai hukum progresif, sebagaimana diistilahkan oleh Prof. Satjipto Rahardjo, juga sebenarnya tidak berbeda jauh dengan ide mengenai realisme hukum. Hukum progresif diartikan sebagai hukum yang mampu mengikuti realitas perkembangan jaman di masyarakat dan mampu menjawab perubahan-perubahan sosial yang terjadi. Hukum progresif mengajak kita untuk berpikir melewati tradisi hukum yang terlalu terpaku dalam jeratan peraturan perundang-undangan secara formal dan membawa kita keluar dari pemikiran positivistik. Alasannya, hukum bukanlah ruang hampa yang steril dan bebas nilai, melainkan harus dilihat dari perspektif sosial.

Hukum progresif pun lahir untuk menjawab kondisi politik yang terjadi di Indonesia, ketika sistem hukum telah lama dikooptasi oleh sistem politik dan kediktatoran sehingga tidak mampu memberikan rasa keadilan di masyarakat. Akibatnya tradisi hukum di Indonesia tidak mampu berkembang secara optimal dan harus terjebak dalam peraturan perundang-undangan yang sudah usang. Perbedaannya, penerapan hukum progresif sangat menitikberatkan pada moralitas dan etika hakim agar mampu menghasilkan kualitas putusan yang memenuhi rasa keadilan materil. Kunci dari penerapan hukum progresif memang terletak dari para hakim yang harus merupakan “orang-orang baik” yang memiliki semangat keberanian membenahi hukum di Indonesia.

Benang Tipis antara Hakim Realis, Progresif, dan Hakim Inkompeten

Membuat gebrakan yang memiliki dampak sosial yang luas memang tidak mudah, bahkan tidak mungkin akan mendapat hujatan dari berbagai pihak. Ketika uji materil atas undang-undang (judicial review) pertama kali dilakukan oleh Mahkamah Agung AS dalam kasus Marbury vs Madison (US Supreme Court, 1803), komunitas hukum mengecam keras intervensi dari kekuasaan yudikatif yang mencampuri kekuasaan membentuk undang-undang, apalagi kekuasaan tersebut dimiliki oleh lembaga yang dipilih oleh rakyat sehingga mempunyai legitimasi demokrasi yang tinggi. Pun pada akhirnya gagasan judicial review saat ini dianggap sebagai salah satu pilar dari doktrin pemisahan kekuasaan berasaskan check and balances. Di Indonesia sendiri, judicial review menjadi tonggak gerakan konstitusionalitas terutama sejak dibentuknya Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003.

Dengan demikian, apakah putusan MA harus dianggap sebagai realis, progresif, atau justru inkompeten? Kalaupun putusan MA harus dianggap sebagai progresif, sampai pada tahap apa kecaman yang sekarang dialamatkan kepada MA akan berubah menjadi pujian layaknya kasus Marbury vs Madison? Kemudian pertanyaan dasarnya pula adalah bagaimana membedakan seorang hakim yang mendobrak aturan hukum karena memang ia memiliki progresivitas, atau semata-mata hanya karena ia inkompeten, atau lebih parah lagi, terdapat indikasi mafia peradilan?

Tulisan singkat ini tidak bermaksud menjawab pertanyaan itu karena tentu dibutuhkan refleksi filosofis dan pemahaman empiris yang mendalam. Tulisan ini hanya ingin memberikan gambaran awal mengenai sulitnya mendefinisikan progresivitas hakim dan keberpihakannya kepada kenyataan pada masyarakat. Yang pasti, progresivitas hakim tidak dapat dinilai berdasarkan penilaian dari media massa, yakni ketika putusan tersebut disanjung oleh media, maka seketika itu pula hakim dianggap “progresif.” Sebaliknya, ketika putusan tersebut mendapat kecaman, maka sekonyong-konyong muncul persepsi negatif mengenai inkompetensi hakim atau bahkan indikasi “mafia peradilan.”

Penilaian apakah seorang hakim dianggap progresif, realistis, atau bahkan inkompeten juga tidak sepantasnya diserahkan kepada para aktivis, kaum oportunis, apalagi para politisi yang senang berbicara di media massa untuk kepentingan dirinya sendiri: apakah untuk mendapatkan keuntungan finansial, politis, atau hanya sekedar untuk mencari popularitas di mata masyarakat.

Kualitas keilmuan hakim –bekal pemahaman filosofis yang kuat dan kemampuan melihat realita di masyarakat- adalah kunci utama menciptakan hukum progresif yang kokoh dan dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis, moral, sosial, dan yuridis yang kuat. Media yang paling memadai untuk untuk melihat kualitas demikian tidak lain dan satu-satunya adalah dari putusan yang dikeluarkannya. Seorang hakim tidak dapat dianggap memberikan putusan yang progresif apabila ia tidak memberikan landasan filosofis yang kuat dalam pertimbangan hukumnya. Tanpa pertimbangan hukum yang memadai barulah kompetensi sang hakim dapat diragukan.

Akses yang terbuka dan cepat terhadap putusan pengadilan mutlak memegang peranan penting dalam mendukung penciptaan hukum yang progresif dan sesuai dengan harapan masyarakat. Dalam hal ini sistem pengelolaan pengadilan yang cepat dan transparan berfungsi dalam menyebarluaskan informasi tersebut ke masyarakat, sebelum masyarakat mulai berspekulasi mengenai putusan yang dikeluarkan. Tidak berhenti sampai disini, para pengamat hukum yang berbicara di media massa juga harus lebih cerdas dalam membahas kasus-kasus yang terjadi. Para pengamat seharusnya tidak saja menganalisis putusan dari segi peraturan perundang-undangan atau dampak sosialnya saja, namun mampu meninjau pertimbangan-pertimbangan hukum yang diberikan para hakim sebagai latar belakang dikeluarkannya putusan. Perdebatan demikian akan terasa lebih akademik dan ilmiah serta tetap dalam koridor demokrasi yang bertanggung jawab.

Hakim yang memiliki kapasitas keilmuan yang memadai, pengadilan yang transparan, dan masyarakat yang cerdas adalah kunci membangun hukum yang progresif dan memenuhi harapan masyarakat. Namun jika ditanyakan, manakah dari ketiga faktor tersebut yang perlu dibentuk terlebih dahulu agar menjadi pemicu bagi pembentukan faktor lainnya, sama saja bertanya mengenai manakah yang ada di dunia terlebih dahulu: ayam atau telur?


Posted by Fiat Justitia at 7:24 AM

0 comments:

Post a Comment