Persaingan Usaha Obat Kuat di Jalan Gajah Mada

Wednesday, January 30, 2008

Oleh: Fika Fawzia



Jalan Gajah Mada yang berada di wilayah Jakarta Pusat pada siang hari mempunyai pemandangan yang sama dengan layaknya pemandangan jalan raya di Jakarta pada umumnya. Macet, panas, berdebu, dan banyak pedagang kaki lima yang berkeliaran. Tetapi apabila kita menelusuri sepanjang Jl. Gajah Mada tersebut pada malam hari, maka akan terlihat beberapa pedagang kaki lima yang muncul dari sisi lain Jakarta, yakni para pedagang yang menjual dagangan yang tidak dijual secara umum, para pedagang “obat kuat”. Obat kuat ini biasanya dijadikan suplemen dan penunjang untuk segala aktivitas seksual. Beberapa contoh obat kuat yang dijual diantaranya adalah Cialis, Nangen, Serigala Malam, dan tentunya, Viagra. Selain dari itu, beberapa dari kios-kios tersebut juga menjual merek kondom tertentu seperti Sutra, Fiesta, Simplex, dan Durex. Para pedagang ini mulai menampakkan dirinya dari sekitar jam 5 sore, sampai pada akhirnya mereka berbenah diri pada jam 5 pagi. Seringkali, merekalah yang disebut pedagang untung-untungan yang muncul di kala matahari terbenam hingga matahari terbit, dimana pada waktu inilah kegiatan-kegiatan layaknya “Jakarta Undercover” yang dipaparkan oleh Moammar Emka berlangsung. Yang menjadi pembahasan dalam tulisan ini bukanlah apa yang pedagang tersebut lakukan dengan dagangan-dagangan ‘unik’ tersebut, melainkan bagaimana para pedagang tersebut melakukan usahanya dan dikaitkan dengan konsep persaingan usaha itu sendiri.

Legalitas Penjualan
Sewaktu Penulis melakukan pengamatan secara langsung, hal yang seketika disadari oleh Penulis adalah bagaimana kios-kios para pedagang ini secara berderet terletak secara berdekatan dari satu kios dengan kios yang lainnya. Kios darurat yang berbentuk seperti gerobak ini mempunyai dua jendela, dimana di salah satu daun jendela tertulis angka dua digit berwarna cerah, guna membantu konsumen mengidentifikasi penjual yang satu dengan yang lainnya. Sementara itu di daun jendela yang satu lagi terdaftarkan nama-nama obat kuat yang dijualnya tersebut. Gerobak kios ini mempunyai ‘izin parkir’ yang menurut Herman (bukan nama asli), seorang petugas parkir resmi dari Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, adalah legal. Sehingga penjualan obat-obatan tersebut tidaklah melanggar hukum, karena pada dasarnya penjualan tersebut sudah memiliki izin. Penulis pun melihat mobil polisi yang berpatroli di daerah tersebut, mereka tidak berhenti untuk mempertanyakan legalitas penjualan obat-obat kuat yang ada. Akan tetapi ada beberapa penjual yang menjual DVD dan VCD bajakan, dan penjual-penjual inilah yang dimintai pungutan sebesar Rp. 10.000 – Rp 15.000 setiap malamnya agar penjualan barang bajakan tersebut tetap dapat berlangsung. Adapun menurut Herman, ada kalanya pedagang yang menjual obat-obatan selain obat kuat yaitu narkoba, mempunyai kemungkinan besar untuk melakukan usahanya secara sembunyi-sembunyi. Saat melakukan pengamatan, ada suatu saat dimana pedagang obat kuat ini enggan didokumentasikan, langsung tutup mulut dan meminta Penulis untuk pergi.

Kios-kios ini tidak hanya satu atau dua saja, tetapi berjumlah puluhan yang berderet dari setelah Gajah Mada Plaza sampai di kawasan Glodok, yang penampilannya mencolok dengan lampu petromaks mereka di malam hari. Reklame atau sekedar petunjuk sederhana yang memberi tahu keberadaan tempat-tempat itupun bisa ditemukan di mana-mana. Dengan ‘koloni’ pedagang yang berjumlah puluhan ini, tanpa disadari mereka telah membuat keberadaannya mudah diketahui dan diingat orang. Hal demikian merupakan salah satu strategi pemasaran yang jitu karena lokasi mereka kemudian akan menjadi rujukan saat orang hendak belanja obat kuat.

Cara yang para pedagang ini lakukan untuk menarik konsumen adalah dengan melambai-lambaikan tangan apabila ada mobil konsumen yang terlihat secara perlahan mendekati mereka. Sekilas, penjualan obat kuat yang sengit dari koloni pedagang ini tampak seperti pasar persaingan sempurna, karena banyak sekali penjual dan banyak pula konsumennya, yakni para pria (maupun wanita) yang membeli obat kuat dan pernak-pernik aktivitas malam dengan pasangan-sesaat yang diambilnya di daerah Gunung Sahari dan melanjutkannya di hotel-hotel di dekat daerah Mangga Besar (Segitiga Emas Prostitusi Jakarta). Tetapi apakah penjualan obat kuat di Jalan Gajah Mada ini betul dikategorikan sebagai pasar persaingan sempurna?

Diskriminasi Harga
Terlepas dari apakah penjualan obat kuat tersebut etis atau tidak, yang menjadi pertanyaan di sini apakah mekanisme penjualan tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip hukum persaingan usaha yang berlaku? Satu hal yang langsung disadari oleh Penulis adalah harga yang ditawarkan oleh masing-masing penjual. Sebagai contoh, ketika Penulis menawar untuk Viagra, ada satu penjual yang menyatakan harganya adalah Rp. 85.000, sementara di kios penjual yang lainnya ada yang menjual produk yang sama seharga Rp. 80.000. Ketika kami menanyakan harga aslinya kepada Herman, ternyata harga yang ditawarkan berbeda jauh dengan kenyataannya. Begitu juga dengan kondom Durex, dimana di Apotik dijual seharga Rp. 10.000-11.000, maka di kios-kios tersebut dijual seharga Rp. 20.000. Dalam hal ini, calon pembeli harus pintar menawar. Para pedagang biasanya memasang harga yang tinggi untuk pertama kali. Apabila calon pembeli ragu-ragu atau tampak tidak berminat, baru mereka menurunkan harga bahkan sampai separuh dari harga yang ditawarkan semula.

Diskriminasi harga, yakni kegiatan dimana penjualan suatu produk yang sama kepada konsumen yang berbeda dengan harga yang juga berbeda meskipun biaya penjualan adalah sama terhadap mereka, dapat terjadi karena beberapa hal. Retailer (dalam hal ini adalah para pedagang obat kuat yang menjual langsung ke konsumen – end of supply chain) menetapkan harga yang lebih mahal ke beberapa pembeli dan harga yang lebih murah kepada pembeli lainnya. Sebagai contoh, seorang pembeli harus membayar lebih apabila penjual menetapkan bahwa memang pembeli dianggap mempunyai kemampuan untuk melakukannya. Retailer dapat berasumsi demikian dengan melihat tingkat kesejahteraan pembeli, ketelitian, pengetahuan produk, dan kemauan untuk membeli. Diskriminasi harga akhirnya berujung kepada situasi tawar-menawar dimana penjual dan pembeli melakukan haggling, yakni negosiasi mengenai harga. Praktek diskriminasi harga dalam suatu pasar dimana terdapat informasi sempurna (perfect information) dan tidak ada biaya transaksi (no transaction cost), merupakan suatu ciri dari pasar monopoli. Hal ini juga dapat terjadi ketika untuk menyalurkan suatu barang kepada satu konsumen dengan yang lainnya membutuhkan biaya yang lebih, sementara itu penyalur menetapkan harga yang sama.
Berarti dalam hal ini, para pedagang obat kuat telah melakukan observasi terhadap calon pembeli, seperti apakah pembeli adalah orang yang sudah awam dengan produk-produk tersebut atau tidak. Tentunya dia melakukan diskriminasi harga terhadap pembeli yang sudah mahir dengan memberikan harga yang lebih murah, dibandingkan dengan pembeli amatir yang diberikan harga yang lebih mahal.

Resale Price Maintenance
Praktek resale price maintenance, adalah suatu tindakan dimana suatu produsen dan distributornya membuat suatu kesepakatan bahwa distributor akan menjual produk dari produsen di harga tertentu, di atau di atas harga dasar (minimum resale price maintenance) maupun di atau di bawah harga atap (maximum resale price maintenance). Perjanjian ini menghambat reseller untuk bersaing secara kompetitif dalam harga sehingga dapat menurunkan profit.

Tentunya para pedagang obat kuat ini tidak memproduksi sendiri obat-obatan tersebut. Mereka mendapatkan obat-obat ini dari distributor yang biasanya mengantarkan kepada mereka atau dalam keadaan tertentu para pedagang ini mengambilnya sendiri di tempat distributor berada. Menurut Herman, semua pedagang yang ada di sepanjang Jl. Gajah Mada tersebut, produknya berasal dari satu distributor yang sama, yakni distributor yang bertempat di daerah Pancoran, Jakarta Selatan.

Kita anggap bahwa satu distributor ini menjadi posisi produsen, dan retailer menjadi para distributor dibawahnya. Dengan kata lain, distributor utama ini dapat menentukan harga minimum penjualan obat-obatan dengan koloni pedagang obat kuat, sehingga keuntungan yang didapat oleh distributor bisa maksimal. Retailer tidak bisa menjual barang di bawah harga yang ditetapkan, sehingga distributor tidak mengalami adanya keuntungan yang hilang dari target penjualan obat-obatan tersebut. Penetapan harga ini membuat distributor sebagai agen yang mengadministrasikan suatu kartel penjualan obat kuat, dimana para retailer (pedagang kaki lima) menjadi kaki tangannya karena retailer sebagai reseller tidak dapat bersaing secara kompetitif dengan menawarkan harga yang lebih murah kepada konsumen. Tindakan demikian, merupakan tindakan monopolistis yang telah dilakukan oleh distributor.

Penutup
Tentunya masih ada aspek dari persaingan usaha yang belum dikaji dalam tulisan ini, akan tetapi hal yang mencolok ketika Penulis melakukan pengamatan dari penjualan obat-obatan ini adalah adanya diskriminasi harga dan indikasi resale price maintenance. Para pedagang obat kuat yang berderet sepanjang Jl. Gajah Mada ini bukanlah suatu cerminan bahwa persaingan di antara mereka adalah persaingan yang sempurna, karena setelah ditelusuri, mekanisme penjualan mereka justru menjurus kepada persaingan yang tidak sehat, persaingan yang cenderung monopolistis.

Dalam dunia usaha, persaingan itu dibutuhkan karena pelaku usaha dituntut untuk menjadi efisien dalam menjalankan usahanya. Suatu keadaan dimana terdapat persaingan yang sehat, memberikan dorongan bagi pelaku usaha untuk membenahi dirinya sehingga mau tidak mau dia memberikan pelayanan yang terbaik bagi konsumen. Dalam kasus ini, para pria ‘loyo’ sebagai konsumen utama dari para pedagang obat kuat, mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pelayanan yang terbaik dari mereka. Mungkin saja, hal ini guna mencapai ‘pelayanan lahiriyah’ yang diinginkan oleh para konsumen tersebut.


FIKA FAWZIA
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia.


Sumber:
  • Pengamatan langsung dan wawancara yang dilakukan pada tanggal 17 Maret 2007
  • Richard Posner, “Antitrust Law, An Economic Perspective”. University of Chicago Press, 1976.
  • http://community.kompas.com/index.php?fuseaction=home.detail&id=21807&section=94

READ MORE
Posted by Fiat Justitia at 2:14 PM 0 comments

Kesenian Tradisional Adalah Kekayaan Intelektual Bangsa

Friday, January 18, 2008

Oleh: M. Ajisatria Suleiman

Kegusaran masyarakat terhadap Malaysia akibat pemanfaatan tanpa ijin atas kesenian tradisional Indonesia seperti lagu rasa sayange pada jingle pariwisata Malaysia, klaim atas Reog Ponorogo, dan berbagai kasus lain sudah sewajarnya disalurkan melalui jalur hukum. Pemerintah Indonesia sebagai pemegang hak cipta berdasarkan hukum harus segera mengumpulkan bukti yang menyatakan bahwa kesenian tersebut sudah sejak lama merupakan kesenian tradisional Indonesia dan kemudian melayangkan gugatan terhadap otoritas yang berwenang di pengadilan Malaysia. Namun sesungguhnya apabila melakukan refleksi yang lebih dalam, permasalahan perlindungan hukum terhadap kesenian tradisional sebagai kekayaan intelektual memiliki dimensi yang lebih luas dari sekedar menggugat klaim hak cipta oleh pihak asing.

Kesenian tradisional adalah aset bangsa yang sangat berharga baik dari aspek ekonomi, sosial, maupun budaya. Sebagai aset ekonomis, kesenian tradisional terbukti memiliki nilai komersil yang tinggi dengan banyaknya apresiasi dari dunia internasional. Namun lebih penting lagi, kesenian tradisional adalah warisan budaya yang memiliki arti penting bagi kehidupan adat dan sosial karena di dalamnya terkandung nilai, kepercayaan, dan tradisi, serta sejarah dari suatu masyarakat lokal. Beberapa kesenian tradisional misalnya tidak hanya berfungsi sebagai hiburan belaka, namun di dalamnya terkandung penghormatan terhadap arwah leluhur dan nilai-nilai magis religius lainnya.

Hak kekayaan intelektual (HKI), khususnya hak cipta, menjadi instrumen perlindungan hukum utama atas kesenian tradisional Indonesia. Harus diakui bahwa mekanisme hak cipta memang belum sempurna dalam mengakomodasi perlindungan dan pemanfaatan yang layak bagi karya tradisional. Hak cipta merupakan hak yang dimiliki oleh individu atas ciptaannya, namun tidak mengatur mengenai hak tradisional yang dimiliki secara kolektif oleh suatu komunitas. Banyak suku di Indonesia mewarisi secara turun temurun suatu kesenian adat tradisional, sehingga pemegang hak atas kesenian tersebut bukan orang perseorangan melainkan komunitas tersebut secara keseluruhan.

Di sisi lain, sebagai suatu konsep hukum yang berasal dari kebudayaan barat, secara tradisional sesungguhnya masyarakat Indonesia tidak memahami filosofi dasar HKI. Dalam penelitian yang dilakukan di beberapa suku di Sasak dan Lombok (Sardjono: 2006, 119), ditemukan bahwa masyarakat adat ternyata tidak menganggap pengetahuan tradisional yang mereka praktekan sebagai ”miliknya.” Mereka rela apabila ada pihak lain yang menggunakan pengetahuan tersebut meskipun tanpa persetujuan terlebih dahulu karena beranggapan bahwa semakin banyak digunakan maka semakin bermanfaat pula pengetahuan itu.

Apabila seluruh unsur masyarakat di Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan potensi ekonomi kesenian tradisional sekaligus menghormati hak-hak sosial dan budaya bangsa, kondisi demikian tidak dapat dibiarkan. Beberapa langkah perlu dilakukan dengan menitikberatkan upaya pada pemberian kebebasan bagi masyarakat adat atau seniman tradisional itu sendiri dalam memilih pemanfaatan yang layak bagi ciptaannya. Dalam hal ini terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh seluruh unsur masyarakat sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing sehingga tidak dibebankan sepenuhnya kepada pemerintah.

Pertama adalah memberikan pemahaman kepada masayarakat adat dan para seniman tradisional mengenai arti penting kesenian tradisional. Apabila mereka sudah mengetahui hak-haknya yang dilindungi oleh hukum, maka kemudian mereka dapat memiliki pemahaman yang layak dan kebebasan untuk menentukan sendiri pemanfaatan ciptaan mereka.

Dalam melakukan program edukasi demikian, dibutuhkan unsur masyarakat yang dapat berbaur dengan masyarakat setempat. Untuk memberikan pemahaman terhadap komunitas adat, diperlukan pemahaman atas sistem sosial mereka sehingga dapat menjangkau pemimpin adat sebagai pengambil keputusan tertinggi. Oleh karena itu, lembaga swadaya masyarakat (LSM), tokoh budaya, dan elemen masyarakat sipil lainnya memegang peranan vital dalam mewujudkan strategi ini.

Kedua adalah memanfaatkan kesenian tradisional secara optimal dengan menghormati hak-hak sosial dan budaya masyarakat yang berkepentingan. Salah satu faktor rendahnya kesadaran hukum masyarakat akan pentingnya perlindungan atas kesenian tradisional adalah kurangnya minat terhadap kesenian itu sendiri. Tidak jarang kesenian tradisional Indonesia lebih diapresiasi oleh pihak asing dibandingkan oleh masyarakat Indonesia. Beberapa karya adaptasi atas kesenian tradisional Indonesia justru dilakukan oleh seniman asing dan ternyata mendapat sambutan yang positif.

Seluruh pemangku kepentingan pada industri kesenian, produser musik contohnya, harus berpartisipasi dalam mendorong perkembangan kesenian tradisional. Di sisi lain, pelaku industri ini juga harus memberikan kompensasi yang layak sebagai wujud perlindungan hukum atas seniman tradisional. Sebagai pihak swasta, langkah ini dapat dikategorikan sebagai program kepedulian sosial (corporate social responsibility).

Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat terdapat perusahaan bernama Shaman, Inc. yang menjalankan usaha pengembangan teknologi dan pemasaran atas obat-obatan tradisional yang diramu oleh penyembuh tradisional (dukun) di Amerika Latin. Mereka mengembangkan dan menjual produk obat tradisional dengan memberikan royalti yang layak kepada penyembuh tradisional tersebut. Pelaku industri seni dapat mengadopsi mekanisme yang sama terhadap kesenian tradisional.

Ketiga adalah melakukan dokumentasi yang komprehensif. Dokumentasi yang memadai atas kesenian tradisional Indonesia berfungsi sebagai mekanisme perlindungan defensif untuk menanggulangi penyalahgunaan (misappropriation) instrumen HKI terhadap pengetahuan tradisional Indonesia di luar negeri.

Dokumentasi ini yang kemudian dapat dimanfaatkan oleh advokat-advokat Indonesia sebagai dasar pembuktian bahwa suatu kesenian yang didaftarkan atau dimanfaarkan di luar negeri adalah tidak orisinal sebagaimana dipersyaratkan dalam hukum hak cipta internasional. Dalam kasus lagu “rasa sayange” misalnya, apabila Indonesia memiliki dokumentasi yang mendukung lagu tersebut sebagai lagu tradisional Indonesia yang sudah dipraktekan sejak lama, maka sudah didapatkan dasar gugatan yang memadai. Dokumentasi ini dapat berupa rekaman, manuskrip, atau laporan penelitian.

Proses dokumentasi harus dilakukan dengan melibatkan segenap elemen akademisi, peneliti, dan praktisi di bidang hukum, kesenian, musikologi, antropologi, jurnalisme, budaya, dan unsur lain yang terkait. Untuk menekan biaya dokumentasi, partisipasi masyarakat juga harus dibuka seluas-luasnya sehingga data dan informasi dapat diperoleh dari berbagai sumber.

Pada akhirnya, setiap langkah yang dilakukan membutuhkan dukungan pemerintah sehingga tercipta upaya yang komprehensif, sistematis, dan berkelanjutan. Pelaksanaan edukasi hukum atas kesenian tradisional dan kemitraan antara pelaku industri seni dengan masyarakat tradisional harus berada dalam pengawasan pemerintah. Sementara itu, pemerintah juga harus menjadi ujung tombak proses dokumentasi dan pengajuan gugatan terhadap setiap pihak asing yang menyalahgunakan kesenian tradisional Indonesia. Tujuan akhir dari seluruh langkah ini tentu saja adalah meningkatkan daya saing bangsa sekaligus mengembangkan harkat dan martabat sosial budaya Indonesia, baik pada tingkat domestik maupun internasional.


READ MORE
Posted by Fiat Justitia at 10:42 AM 0 comments

Memimpin KPK Butuh Orang Seperti Apa?

Oleh: M. Ajisatria Suleiman

Belum diberikan kesempatan untuk membuktikan kinerjanya, masyarakat sudah berontak terhadap Pimpinan KPK periode 2007-2011 yang baru saja terpilih pada 5 Desember 2007 lalu. Antasari Azhar, berlatar belakang sebagai jaksa, dianggap tidak memiliki integritas karena disinyalir terlibat dalam berbagai praktek korupsi dan suap. Antasari rupanya menanggapi dengan tenang kritik tersebut dan berjanji akan membuktikannya melalui kinerja.

Uniknya, sebelum kontroversi Antasari dimulai, salah satu anggota Panitia Seleksi Pimpinan KPK (Pansel) yang memberikan nama Antasari ke DPR, Rhenald Kasali, memberikan pernyataan yang menarik di salah satu surat kabar nasional pada bulan Oktober (Kompas, 8/10/2007). Ia mengutip tokoh nasional Prof. Komarudin Hidayat yang juga merupakan anggota Pansel yang menyatakan bahwa "Hanya mobil yang tak pernah keluar garasilah yang tak ada cacatnya." Rhenald menambahkan bahwa orang jujur saja tidak cukup untuk memberantas korupsi. Selain jujur ia harus memiliki keberanian dan kemampuan. Orang jujur yang ‘baik’ bisa berubah menjadi ‘jahat’ apabila ia tidak memiliki kemampuan untuk memimpin dan membangun institusi ia berada.

Ditambah lagi salah satu anggota Panitia Seleksi Pimpinan KPK (Pansel) yang merupakan seorang guru besar ilmu hukum diberikan pertanyaan, “mengapa tidak ada akademisi yang lolos dari seleksi pimpinan KPK?” Sang profesor menjawab bahwa pemberantasan korupsi membutuhkan keterampilan praktis dan kemampuan menguasai medan. Akademisi relatif menguasai teori pemberantasan korupsi secara komprehensif, namun kurang pengalaman dalam melihat korupsi dalam praktek bisnis dan pemerintahan yang konkret.

Terakhir, pernyataan M. Yasin, Wakil Ketua KPK yang dikalahkan oleh Antasari pada pemilihan di DPR, juga patut disimak. Dalam sebuah diskusi publik pada bulan Januari 2008, ia berkata bahwa pada awalnya ia juga memiliki keraguan yang sama terhadap Antasari. Namun setelah mulai bekerjasama dengan yang bersangkutan dalam hari-hari pertama memimpin KPK, skeptisme tersebut hilang dan ia menaruh kepercayaan besar terhadap Ketua KPK periode baru tersebut.

Ada benang merah menarik yang didapatkan dari pernyataan-pernyataan tersebut. Rhenald dan Komarudin seolah sudah bisa memprediksi siapa yang akan dipilih menjadi Ketua KPK. Bahkan jauh sebelum kontroversi muncul, mereka sudah memberikan justifikasi atas pilihannya. Begitupula dengan pernyataan sang profesor hukum dan juga M. yasin. Jika dikaitkan dengan polemik saat ini, pernyataan-pernyataan mereka dapat ditafsirkan menjadi:

“Antasari memang bukan ‘orang baik,’ namun ia memiliki kemampuan untuk memberantas korupsi. Kemampuan ini didapatkan dari pengalamannya dalam memberantas praktek korupsi, bahkan mungkin sedikit banyak terlibat dalam praktek tersebut. Ia memang bukan ‘orang jujur,’ namun ia mampu melihat praktek sesungguhnya dari korupsi dan dari situ lah ia bisa memberantas korupsi dengan baik. Berikan ia kesempatan dan anda akan melihat pembuktiannya.”


Pansel KPK diisi oleh orang-orang yang berintegritas, mulai dari tokoh agama, ahli hukum, aktivis LSM, ahli manajerial, dan lainnya. Mereka lah yang sejak awal meloloskan nama Antasari ke DPR. Jika memang demikian, seharusnya mereka memiliki alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Apakah alasan di atas memang alasan sebenarnya terpilihnya Antasari, bukan alasan politis seperti selama ini didengungkan?

Jika memang seperti ini duduk perkaranya, entah hal ini dapat dianggap sebagai kehancuran atau justru kemajuan pemberantasan korupsi.

Benarkah dalam memberantas korupsi harus digunakan logika hacker komputer atau informan narkoba? Satuan unit cybercrime kepolisian memang banyak menggunakan hacker yang ditangkap oleh mereka untuk membantu melacak kejahatan-kejahatan di dunia maya. Begitupula mantan pengedar narkoba tidak jarang dijadikan informan bagi aparat penegak hukum untuk menjabarkan peta distribusi dan pemasaran narkoba. Jika logika ini yang dipakai, berarti kehadiran Antasari adalah sebagai ‘orang dalam’ yang mengetahui secara jelas seluk beluk korupsi yang akan digunakannya untuk memberantas korupsi tersebut.

Jika integritas Antasari sudah dipertanyakan, agaknya kita harus berharap bahwa ia memang memiliki keahlian khusus yang tidak dimiliki oleh calon pimpinan yang lain. Pertama, sejauh mana ia dapat memimpin dan membangun organisasi KPK, termasuk hubungan dengan pimpinan lainnya, pengelolaan anak buah, pengembangan sistem organisasi, dan membangun budaya berbasis kinerja. Kedua, sejauh mana ia dapat berkoordinasi dengan lembaga lain, karena KPK bukan pemain tunggal. Pemberantasan korupsi harus dilakukan di dalam satu ‘SISTEM INTEGRITAS NASIONAL’ yang terdiri dari lembaga seperti DPR, KY, Kejaksaan, Kepolisian, BPK, Ombudsman, Komisi Kejaksaan, PPATK, asosiasi profesi, Departemen Keuangan, elemen masyarakat sipil, bahkan perguruan tinggi, mahasiswa, tokoh adat, dan tokoh agama. Ketiga, sejauh mana ia mampu berkomunikasi dengan masyarakat yang sudah tidak sabar lagi menunggu kinerjanya.

Yang jelas, antara KEMAMPUAN dan KEMAUAN adalah dua hal yang jelas berbeda. Antasari mungkin memiliki kemampuan yang memadai sebagai hasil dari ‘pengalaman-pengalamannya’ terdahulu. Namun belum tentu ia memiliki kemauan dalam mengeluarkan seluruh kemampuan tersebut. Bisa jadi ia terhambat oleh keberanian, keengganan memberantas ‘teman-temannya sendiri,’ atau bahkan orang-orang yang tidak menyukainya dapat mengancam untuk ‘mengutak-utik masa lalunya.’ Semakin banyak dosa yang pernah ia lakukan, semakin terbatas tindakan ia lakukan di masa depan.

Antasari bisa menjadi berkah sekaligus blunder. Jika ia memang bisa membuktikan kemampuannya, maka gerakan anti korupsi pun menang. Namun jika sampai terjadi ia terungkap melakukan tindak pidana korupsi atas perbuatannya di masa lalu sehingga ia harus menjalani proses peradilan, maka Indonesia akan terluka. Tidak hanya kredibilitasnya saja yang hancur, namun harapan dari seluruh masyarakat Indonesia akan hancur seketika ketika icon pemberantasan korupsi ternyata terlibat kasus korupsi juga.


Menyoal Peran DPR dalam seleksi KPK

Apakah semua ini salah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)?

DPR dianggap memilih berdasarkan kepentingan politis. DPR dianggap sebagai lembaga korup yang tidak layak untuk menyeleksi lembaga anti korupsi. Padahal secara filosofis, lembaga yang paling tepat untuk memilih Pimpinan KPK tidak lain adalah DPR. DPR adalah perwakilan rakyat, sehingga memang memiliki kompetensi untuk memilih pimpinan lembaga independen. Jika dipilih oleh Presiden, maka pimpinan KPK akan berhutang budi kepada Presiden sehingga tidak dapat dikatakan independen lagi.

Jika memang ada yang salah dari pemilihan Pimpinan KPK, hal ini semata-mata karena kualitas dan integritas dari anggota DPR, bukan lembaga DPR itu sendiri. Terkadang kita tidak dapat membedakan kesalahan individu dan kesalahan sistem. Sistem yang sudah baik jangan diubah apabila kegagalannya akibat individu yang berada di dalam sistem tersebut, melainkan ubahlah individunya.

Lalu apa solusinya?

Pansel KPK yang diisi oleh orang-orang berintegritas harus dimaksimalkan perannya. Jika memang DPR membutuhkan lima nama Pimpinan KPK, maka berikan saja mereka lima nama, tidak perlu sepuluh. Jika mereka tidak menyetujui lima nama tersebut, baru berikan lima nama berikutnya, begitu seterusnya hingga disetujui oleh DPR. Setelah lima nama itu disetujui pun, biarkan pemilihan ketua diserahkan kepada lima pimpinan tersebut. Ingat, segala keputusan yang menyangkut kewenangan ekseternal KPK adalah atas nama Pimpinan KPK, bukan atas nama Ketua KPK. Dengan demikian, kelima pimpinan pun sebenarnya memiliki kewenangan kolektif sehingga pemilihan ketua pun lebih baik dilakukan secara internal. Sistem ini memiliki dua kelebihan.

Pertama, menjamin kesolidan tim pimpinan. Pansel dalam menyeleksi pimpinan tidak boleh hanya melihat lima nama terbaik saja, namun harus melihat lima nama yang sanggup bekerja sama. Seseorang bisa saja memiliki integritas dan kualitas, namun jika ia tidak dapat bekerjasama dengan empat rekannya maka kelebihannya itu menjadi sia-sia. Pemberian lima nama ke DPR akan memperkuat kesolidan ini karena komposisi akan ditentukan oleh Pansel, bukan DPR. Apalagi jika ketua dipilih internal, maka kesolidan tim akan lebih terjaga.

Kedua, mengurangi permainan politik di DPR. Permainan politik adalah fakta empiris yang sudah tidak dapat lagi berlindung pada argumentasi idealis. DPR tetap harus memilih Pimpinan KPK, namun dapat diupayakan untuk mengurangi ekses negatif permainan politik.

Jadi, Pak Pimpinan KPK, kita tunggu kinerja anda… Kita tidak ingin menaruh terlalu banyak harapan namun kami akan sangat senang jika diberikan kejutan.


Januari 2008

Salam,

M. Ajisatria Suleiman

READ MORE
Posted by Fiat Justitia at 9:51 AM 0 comments

Demokrasi Lingkungan dan Kesejahteraan Rakyat

Friday, January 11, 2008

Oleh: Fika Fawzia

Jenuh sekali apabila melihat perdebatan “orang-orang tua” mengenai korelasi antara demokrasi dengan kesejahteraan rakyat. Perdebatan ini dimulai dengan ungkapan bahwa demokrasi hanyalah alat untuk mencapai kesejahteraan. Dalam posisi awal seperti ini, timbul semacam pandangan utilitarian bahwa cara apapun bisa digunakan untuk mencapai kesejahteraan yang diidamkan oleh rakyat – kebahagiaan, meskipun tidak melalui demokrasi. Bagi masyarakat yang skeptis (dan putus asa), maka mereka akan merasa bahwa demokrasi yang dijanjikan 10 tahun yang lalu oleh Reformasi, belum memberikan kontribusi yang signifikan. Semenjak Pemilu dan 290 Pilkada (sampai Desember 2006 – LSI, 2007) yang diselenggarakan di Indonesia, Human Development Index Indonesia masih berada di peringkat 107 dari 177 negara (UNDP, 2007). Kita kalah dengan Vietnam yang berhasil naik 4 peringkat dari tahun sebelumnya sehingga berada di peringkat 105. Perlu dicatat, Vietnam masih berada dalam rezim otoriter, hanya ada satu partai yakni partai sosialis republik mereka. Jika dibandingkan dengan Indonesia, ada 24 Partai Politik pada Pemilu 2004 dan belum ditambah mereka yang ingin berlomba di Pemilu 2009 mendatang. Akhirnya timbul pertanyaan, apakah demokrasi yang dijanjikan itu memang betul bisa membawa kesejahteraan?

Kondisi yang sebetulnya sudah terlihat sangat jelas adalah bahwa sejarah sudah memberikan pelajaran bagaimana rezim pemerintahan yang otoriter dan tertutup tidak akan membawa kesejahteraan rakyat yang riil. Meskipun Orde Baru telah memberikan kontribusi terhadap pembangunan, namun pembangunan tersebut tidak menyeluruh karena terpusat kepada sistem birokrasi yang sarat dengan korupsi dan tidak berintegritas.

Masyarakat tidak perlu berkecil hati, patokan untuk demokrasi tidak dilihat dari berapa banyak partai dan berapa banyak pilkada yang sudah diselenggarakan karena ini hanyalah aspek prosedural dari demokrasi. Demokrasi secara substansial, pemenuhan hak masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam pemerintahan, masih belum dilaksanakan. Singkat kata, suara rakyat masih belum didengarkan, terutama dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan lingkungan hidup.

Pembangunan ekonomi di Indonesia masih sangat bergantung pada sumber daya alam (resource based economy), sementara itu kondisi empiris menyatakan bahwa pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia masih belum optimal dalam peningkatan pendapatan nasional dan peningkatan kesejahteraan rakyat (Bappenas, 2004). Hal ini karena demokrasi ekonomi yang dijanjikan dalam Pasal 33 UUD 1945 belum terlaksanakan; rakyat tidak diikutsertakan dalam penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di Indonesia. Sebaliknya, justru rakyat yang terkena dampak negatif pengelolaan sumber daya alam yang tidak transparan.

Ketika negara menjadi pihak dalam suatu perjanjian pengelolaan sumber daya alam – seperti Kontrak Karya pertambangan, Production Sharing Contract minyak dan gas bumi, bahkan Hak Pengelolaan Hutan – apakah kepentingan rakyat hilang karena dianggap sudah diwakili oleh Pemerintah? Seperti pasien yang mempunyai hak informed consent dari seorang dokter, seharusnya hal serupa juga berlaku bagi masyarakat untuk berhak mengetahui seluk beluk dari rencana pengambilan kebijakan dari Pemerintah yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam. Hal ini karena segala hal yang berkaitan dengan kebijakan Pemerintah, yang langsung mendapatkan dampaknya adalah masyarakat.

Kepentingan rakyat dan pemerintah ini sepatutnya dijembatani oleh prinsip demokrasi lingkungan, yakni pemenuhan hak publik atas informasi, hak publik untuk berpartisipasi, dan hak publik terhadap keadilan dalam pengambilan kebijakan lingkungan. Pada dasarnya suatu proses pembuatan keputusan dan proses bagaimana keputusan diimplementasikan di berbagai tingkat pemerintahan harus memenuhi tiga prinsip tadi agar tercapai keseimbangan antara kepentingan pembangunan ekonomi dan perlindungan terhadap lingkungan yang tentunya berdampak pada manusia.

Demokrasi lingkungan bukan hal yang baru karena Indonesia sudah mengambil komitmen ini pada saat Deklarasi Rio di tahun 1992 dan World Summit on Sustainable Development di tahun 2002. Tetapi kondisi empiris berkata lain karena komitmen untuk melaksanakan demokrasi lingkungan ini belum sampai di tahap pelaksanaan yang benar-benar serius. Contohnya, apakah akan ada kasus lingkungan seperti lumpur panas di Sidoarjo apabila rakyat setempat mempunyai kesempatan terlebih dahulu untuk mengetahui dampak suatu proyek gas bumi di sana?

Seandainya informed consent terhadap proyek-proyek seperti itu diberikan kepada masyarakat, bencana lingkungan (yang terutama karena kelalaian manusia) akan lebih mudah dihindarkan. Biaya yang dikeluarkan untuk mitigasi suatu bencana akan jauh lebih berguna apabila bencana tersebut dihindari dan biaya tersebut digunakan untuk investasi dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Demokrasi per se tidak cukup untuk menjadi jaminan peningkatan kesejahteraan, namun bagaimana kita menjalankan demokrasi tersebut yang bisa menentukan peningkatan kesejahteraan tadi.

Demokrasi lingkungan tidak hanya butuh komitmen dari Kementerian Lingkungan Hidup tetapi juga dari Lembaga-Lembaga Pemerintah dan Departemen-Departemen lainnya, seperti Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Kehutanan, dsb. Saat ini pun urgensinya tidak hanya untuk pengelolaan sumber daya alam di Indonesia saja, namun bisa untuk menghindari bencana lingkungan global, yakni perubahan iklim. Bappenas di sini bisa mengambil langkah untuk menjalankan prinsip demokrasi lingkungan dalam menentukan arah kebijakan makro yang ramah terhadap perubahan iklim (climate friendly laws). Tidak hanya itu, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai peran penting dalam menjalankan fungsi budgeting mereka dalam melakukan alokasi APBN yang memprioritaskan masyarakat marginal yang akan terkena dampak langsung dari perubahan iklim; para petani dan nelayan kita yang mendambakan kesempatan untuk bisa memajukan diri mereka sendiri.

Saya, sebagai generasi muda, justru heran mengapa orang-orang berdebat tentang penting atau tidaknya demokrasi. Saya lebih heran lagi ketika orang-orang yang berdebat itu adalah mereka yang dipilih melalui sistem demokrasi itu sendiri. Pak, Bu, tidak ada waktu yang lebih baik daripada saat ini untuk menjalankan komitmen terhadap rakyat, khususnya komitmen dalam mengambil kebijakan lingkungan yang pro masyarakat marginal.


FIKA FAWZIA
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Asisten Peneliti di Indonesian Center for Environmental Law.

READ MORE
Posted by Fiat Justitia at 12:52 PM 0 comments