SHIFTING THE TORTURE DEBATE

Wednesday, June 18, 2008

M. Ajisatria Suleiman

Jakarta Post, 18 June 2008

The current international discourse on torture, triggered by the “war against terror” committed by the United States and its allies, has diverted global attention to questions irrelevant to its prevention in the context many countries, including Indonesia. The leaks concerning incidents in Abu Ghraib or Guantanamo might have driven the issue of torture to the top of the human rights agenda. However, regrettably, the global discourse over the last several years has been dominated by the criticism charged to the United States’ practice. The issues that many countries are facing, such as Indonesia, are meanwhile underreported.

In order to meet the purpose of fighting international terrorism following the 9/11 tragedy, a relatively old debate has again emerged: may state torture suspect to save life of many innocents? Whether, and under what conditions, the use of force amounting to torture in the interrogation of suspected terrorists is compatible with the law? The worrying debate is usually supported with the so-called “ticking bomb scenario,” wherein a hypothetical captured terrorist with knowledge of the whereabouts of a timed bomb that could kill many people may reveal its location under torture. The question arises, "in those circumstances, can we use torture?

Under one view, torture could not be justified or excused by the fact that it is applied in order to prevent the death of innocent persons because human dignity is inviolable under any circumstances, and torture is the most severe violation of it. The inviolability of human dignity leaves no room for balancing opposing interests. This absolute prohibition establishes the foundation for banning torture under any circumstances in criminal law. Any exception to this position would implicate the risk of abuse and open the door to a dangerously slippery road.

According to the opposing view, the application of 'preventive torture' may be justified or excused if it is the last resort to prevent the death of innocents. This opinion was mainly based on the assumption that the omission of torture in situations which could infringe the human dignity of the hostage or the victim of the terrorist attack. It was submitted that not only does torture itself violate human dignity of the kidnapper, but the omission of torture also infringes the human dignity of the hostage. According to this view, the conflict between the dignity of the kidnapper and the dignity of the hostage has to be resolved in favor of the latter.

As interesting as this discussion may lead to, whether torture can be justified under certain circumstances draw necessary attention away from the larger frequency of torture that takes place in the Indonesian criminal justice systems as a result of poor state policy, systemic lack of controls, and inadequate forms of redress combined.

The fact is, torture happens everyday in Indonesia. Indeed, the use of torture by political and military leaders is a long and sad history of barbarity, especially during the era of the New Order regime. Although the government has never admitted that its interrogation methods amount to torture as defined under international law, many Indonesian have been subjected to torture, often resulting in permanent psychological and physical trauma, and even death.

What should be noted in Indonesia is that the vast majority of torture victims have no connection with terrorism or political crime. Almost every “ordinary people” (those who do not have political or economic backing) arrested for a criminal offence can expect, at the very least, serious maltreatment. Failure to confess could results in torture. Yet most public discourse on human rights does not concern the use of torture to extract information or confessions from suspected burglars or murderers--in other words, in the context of "ordinary crime,” when torture is almost invariably used. Thus, as committing torture is likely to be considered as business as usual, it would not become an overstatement to declare that torture in Indonesia has become the most serious “forgotten crime.”

The first and foremost action to be taken in order to prevent torture in Indonesia is raising awareness of the society, especially legal community, of the grave character of torture. Many people, including police officers, lawyers, legal scholars, and even human rights activists, still get confused in distinguishing “torture” and “maltreatment.” Ironically, those are the people who should legislate and enforce the law as well as empower the society to combat the practice of torture.

According to The United Nation Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman and Degrading Punishment (“CAT”), there are several main elements of torture, which are: (a) acts which intentionally inflict severe physical or mental pain or suffering; (b) for an illicit purpose; (c) committed, consented or acquiesced to by a public official; (d) not arising only from, inherent in, or incidental to lawful sanctions. These elements of crime are different from maltreatment, as established under the Indonesian Penal Code, which can be committed regardless its perpetrators, either state officials or civilian, and its purpose. The inability to differentiate torture and maltreatment could result in eliminating the “special characteristic” of torture as governed by international law, under which the crime has already received the status of hostis humanis generis, enemy of all mankind, taking into account its grave cruelty.

The Indonesian Constitution of 1945 actually has already prohibited the act of torture. In fact, torture is regarded as one of the “non-derogable rights,” a set of human rights that state can not derogate its obligations to protect, respect, and fulfill, regardless the situation. Again, lack of understanding and ignorance on torture result in the failure to formulate this provision into legislations, policies, and state officials conducts.

This is the issue that Indonesia is facing, not a philosophical discourse between deontologist and utilitarian view about the conditional necessity of torture. We, Indonesian, did not to be cynically reminded by Nietzsche, as he wrote in his book, that through most of human history (in Indonesia), there was no taboo on torture, and so no need to limit the cruelty that nature has given us.

READ MORE
Posted by Fiat Justitia at 2:55 PM 1 comments

Paradoks Munarman

Tuesday, June 10, 2008

by: M. Ajisatria Suleiman

Coretan ini tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan satu orang pun. Pun tulisan ini juga tidak bertujuan untuk membahas perdebatan ideologis pluralisme vs. fundamentalisme yang belakangan semakin mengemuka, terutama pasca insiden Monas. Tulisan ini hanya mencoba memberikan analisis terhadap karakter “aktivis” pada umumnya.

Saya pribadi tidak mengenal dan belum pernah berbincang dengan Munarman. Nama Munarman hanya saya kenal melalui kiprahnya sejak berkecimpung di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) hingga menjadi Panglima Komando Laskar Islam (KLI). Namun ada yang menarik jika kita melihat perkembangan pribadi beliau hingga saat ini.

Selama ini Munarman dikenal sebagai aktivis demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM), anti kekerasan negara, dan bahkan sempat menjadi “panglima” YLBHI, lembaga yang dikenal “sekuler.” Namun perubahan sikap pribadi beliau hingga menjadi tokoh terdepan barisan Islam garis keras cukup mengundang pertanyaan yang menarik: bagaimana mungkin seorang yang sudah berjanji untuk menjunjung pluralisme bisa mengubah ideologinya menjadi berhaluan radikalisme? Pertanyaan ini digunakan untuk menganalisis karakter aktivis pada umumnya.

Aktivis dikenal sebagai golongan orang yang sangat menjunjung idealismenya. Apakah sebagai aktivis demokrasi, aktivis anti-globalisasi, aktivis pendidikan, aktivis anti mafia peradilan, atau apapun pandangan yang dianutnya. Salah satu karakter utama dari seorang aktivis adalah kepercayaannya yang begitu tinggi terhadap suatu nilai-nilai ideal, bahkan terkadang utopis. Kepercayaan yang begitu tinggi terhadap prinsip yang dianutnya membuat seorang aktivis cenderung berpikiran sempit, karena ia merasa bahwa hanya tatanan yang ideal yang berada dalam proyeksinya itulah yang harus diwujudkan. Dengan demikian, tatanan-tatanan lain yang bertentangan atau praktek yang tidak sesuai dengan prinsipnya harus dianggap salah, tanpa mampu mengakomodasi pemikiran lain yang berseberangan.

Sebut saja, aktivis demokrasi akan menentang segala bentuk otoritarianisme, aktivis anti-globalisasi akan menolak segala wujud pasar bebas, atau aktivis wanita akan menganggap segala hal yang merugikan wanita sebagai diskriminasi gender.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan berpikir idealis dan utopis. Gagasan pembaruan hanya lahir dari visi yang jernih, yang tidak tercampur dengan keiinginan kompromistis untuk menyesuaikan dengan keadaan. Bahkan, sosok idealis harus dianggap sebagai sosok penyeimbang di tengah masyarakat yang semakin pragmatis ini. Sebagai contoh, pemikiran mengenai hukum alam (natural law) pun sejak mulai dipopulerkan oleh Grotius kerap dikritik sebagai pemikiran yang tidak membumi, tidak mampu melihat kenyataan, dan tidak mungkin diterapkan dalam dunia nyata. Pada kenyataannya, justru karena sarat dengan nilai-nilai filosofis-idiil itulah pemikiran mengenai hukum alam tetap bertahan hingga saat ini, bahkan menjadi pondasi utama keberlakuan hukum internasional modern.

Menjadi permasalahan seorang aktivis-idealis tidak mau membuka pemikirannya terhadap gagasan lain yang mungkin berseberangan. Menjadi permasalahan ketika seorang aktivis-idealis tidak merelakan waktunya sejenak saja untuk mencerna pemikiran yang berseberangan dengan pandangannya, melakukan refleksi, mencoba menemukan kekuatan (dan kelemahan) dari ide lain tersebut, dan kemudian baru membuat argumentasi bantahan. Menjadi permasalahan ketika seorang aktivis-idealis tidak memberanikan dirinya untuk keluar dari zona nyaman dirinya dan menguatkan tekadnya untuk mencoba berpikir dari kacamata yang berbeda.

Siapa bilang aktivis harus selalu hidup susah? Pada kenyataannya, seorang aktivis justru memiliki hidup yang sangat nyaman. Ia selalu berada pada suatu alam pemikiran yang tidak mengharuskan dirinya untuk menantang dirinya sendiri karena ia sudah terlalu percaya dengan keyakinannya. Seorang aktivis tidak akan terbebani oleh kehidupan karena ia merasa sudah berjuang sedemikian keras untuk mempertahankan keyakinannya. Apabila perjuangan itu mengalami kegagalan, setidaknya ia merasa puas dan nyaman terhadap dirinya sendiri karena sudah mempertahankan prinsipnya.

Cobalah mereka yang mengaku aktivis mempertanyakan hal ini kepada dirinya sendiri. Beranikah seorang aktivis lingkungan hidup keluar dari kacamata hijaunya dan mencoba berpikir dari perspektif perusahaan? Beranikah seorang aktivis HAM berpikir dari kacamata seorang pejabat negara yang harus mengambil keputusan untuk melakukan kekerasan untuk meredam konflik? Tampaknya pertanyaan dasarnya adalah, beranikah aktivis mengambil pandangan dari kacamata pemikiran yang berseberangan? Jika berani, aktivis tersebut sudah keluar dari zona nyamannya untuk menemukan jawaban yang sejati.

Saya rasa hal ini lah yang terjadi pada Munarman. Sepanjang hidupnya, ia selalu berada pada zona nyamannya sebagai aktivis HAM. Ia sangat menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi, HAM, dan pluralisme sehingga sudah menobatkan hal-hal tersebut sebagai harga mati. Namun ketika suatu saat ia melihat dunia lain yang berbeda, dunia fundamentalisme agama, ia dapat dengan mudah terseret dan terbawa ombak sehingga tidak lama kemudian menjadi bagian dari pemikiran yang berseberangan tersebut. Ternyata, di balik sosok aktivis yang berprinsip teguh seperti Munarman, tertanam jiwa yang labil yang mudah dipengaruhi. Dan apabila aktivis sudah terpengaruh dengan pemikiran baru, ia akan melakukan segala cara apapun untuk mempertahankan keyakinan barunya tersebut. Layaknya Munarman yang langsung naik pangkat menjadi Panglima Komando Laskar Islam.

Perubahan drastis seperti ini saya yakini tidak hanya terjadi pada Munarman. Mereka yang selama ini berpikir menggunakan kacamat sempit pun akan mengalami hal yang sama apabila berada pada posisi Munarman. Mereka yang tidak berani berpikir dengan kacamata tetangga justru adalah mereka yang akan mudah terbawa arus. Dengan pendekatan persuasif yang tepat, seorang garda terdepan anti-globalisasi dapat menjadi penjual pasar bebas teraktif. Layaknya seorang santri yang terkekang dan tidak pernah keluar dari pesantren dan masjid, begitu ia melihat dunia hedonis bergelimang narkoba dan wanita, ia bisa langsung “kalap” dan membabi-buta.

Itulah Paradoks Munarman: suatu paradoks yang timbul akibat dari keengganan diri kita untuk keluar dari zona nyaman, suatu paradoks yang menolak diri kita untuk berpikir dengan menggunakan kacamata yang berbeda. Itulah penyakit utama aktivis. Jadi jangan heran jika di Indonesia, banyak sekali aktivis-aktivis yang tiba-tiba saja berubah menjadi pembela prinsip-prinsip yang selama hidupnya selalu ditentangnya.

READ MORE
Posted by Fiat Justitia at 1:17 PM 2 comments

Kotak Pandora Negara Pedagang

by: M. Ajisatria Suleiman

Pada 24 Maret 2008, setelah melalui salah satu proses pengujian UU yang paling kompleks dalam sejarah Mahkamah Konstitusi (“Mahkamah”), Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 22 Undang-Undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (“UUPM”) bertentangan dengan UUD 1945. Tulisan ini mencermati salah satu pertimbangan hukum Mahkamah mengenai inkonstitusionalitas pasal tersebut yang dapat membuka “kotak pandora” mengenai penerapan hukum ekonomi internasional dalam sistem hukum Indonesia.

Perdebatan mengenai Pasal 22 UUPM pada dasarnya terfokus pada apakah pemberian hak atas tanah yang “dapat diperpanjang di muka sekaligus” bertentangan dengan UUD 1945, terutama dengan “hak menguasai negara” sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945. Yurisprudensi Mahkamah menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “hak menguasai negara” adalah merumuskan kebijakan (beleid) melakukan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengawasan (toezichthoudensdaad) dan pengelolaan (beheersdaad).
Mahkamah menyatakan bahwa pemberian hak atas tanah yang dapat diperpanjang di muka sekaligus dapat melemahkan hak menguasai negara pada bidang pengawasan (dalam hal kapasitas negara untuk membatalkan atau menghentikan hak-hak atas tanah tersebut) dan bidang pengelolaan (dalam hal pemerataan untuk memperoleh hak atas tanah secara adil).
Mahkamah kemudian mencoba mengaitkan kesimpulan tersebut dengan Pasal 32 UUPM yang mengatur mengenai penyelesaian sengketa penanaman modal antara negara dengan penanam modal yang menggunakan forum arbitrase internasional. Menurut Mahkamah, ketentuan demikian semakin melemahkan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi.

Alasannya, tatkala pemerintah mencoba menghentikan atau membatalkan suatu hak atas tanah, maka ia bertindak atas nama negara dalam kualifikasi pemegang kedaulatan (ius jure empirii). Legalitas tindakan tersebut hanya dapat diuji dalam lingkungan peradilan tata usaha negara. Sementara itu, pengujian tindakan pemerintah di hadapan arbitrase internasional hanya dapat dilakukan ketika negara sedang bertindak dalam kualifikasi sebagai pedagang atau subyek perdata biasa (ius jure gestiones). Lebih jauh lagi, Mahkamah mengatakan “seharusnya klausul penyelesaian sengketa melalui arbitrase dicantumkan dalam rumusan kontrak, kasus demi kasus, bukan dalam perumusan undang-undang yang berlaku umum dan bersifat permanen yang justru mempersulit Pemerintah sendiri.”

Sangat disayangkan Mahkamah tidak melanjutkan pendapat tersebut dan langsung meloncat ke argumen lain. Namun demikian, apabila dikaji lebih mendalam, dapat disimpulkan secara implisit bahwa Mahkamah menentang pengujian atas tindakan administrasi negara (seperti pemberian ijin dan pemberian hak atas tanah) di hadapan arbitrase internasional karena mengurangi kedaulatan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945.
Permasalahannya, ketentuan hukum dan praktek komunitas internasional, termasuk Indonesia, sangat bertolak belakang dengan kesimpulan Mahkamah tersebut.

Saat ini, Indonesia merupakan negara peserta dari Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States yang diratifikasi dengan UU No. 5 tahun 1968. Konvensi tersebut menyediakan forum arbitrase internasional antara negara dengan penanam modal di negara tersebut dengan difasilitasi suatu lembaga internasional yang dikenal dengan nama ICSID. Indonesia sendiri menunjuk ICSID sebagai forum penyelesaian sengketa investasi sebagaimana tercantum dalam formulir persetujuan penanaman modal yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Konvensi ini tidak membedakan kualifikasi tindakan suatu negara, sehingga batas antara negara sebagai pemegang kedaulatan (ius jure empirii) dengan negara sebagai pedagang (ius jure gestiones) semakin kabur. Dalam perkara klasik Kartika Plaza (Republik Indonesia v. Amco Asia Corp), pemerintah Indonesia digugat karena melakukan pencabutan lisensi penanaman modal dari satu investor asing. Dalam perkara ini, Republik Indonesia dikalahkan. Yang menarik, tindakan pemerintah yang dipermasalahkan adalah tindakan pemberian lisensi yang notabene-nya adalah suatu tindakan sebagai pemerintah negara berdaulat karena hubungan hukum yang tercipta adalah antara pemberi ijin dengan penerima ijin. Permasalahan akan berbeda apabila tindakan yang dipermasalahkan adalah dalam suatu hubungan kontraktual.

Jika penafsiran Mahkamah dilanjutkan, maka kotak pandora yang terbuka akan bergulir terkait dengan berbagai permasalahan konstitusional terhadap beberapa permasalahan hukum internasional.

Pertama, apakah pengujian tindakan negara sebagai pemegang kedaulatan di forum arbitrase internasional dianggap inkonstitusional? Jika mengikuti logika berpikir Mahkamah dalam pertimbangan hukum pengujian UUPM, maka jawabannya adalah iya, pengujian tersebut inkonstitusional. Implikasinya secara sederhana, sangat dimungkinkan Pasal 32 UUPM di kemudian hari dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Namun jika hal demikian sampai terjadi, perlu dipikirkan pula dampaknya terhadap nasionalisasi yang akan dilakukan oleh Republik Indonesia karena tindakan tersebut melahirkan kewajiban bagi negara (responsibility of the state) dalam hukum internasional untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan.

Kedua, bagaimana konstitusi mengikuti perkembangan hukum ekonomi internasional yang bergerak dengan sangat dinamis? Jika konstitusi ditafsirkan secara rigid, hal ini akan kontraproduktif dengan keaktifan partisipasi pemerintah dalam forum-forum dan perjanjian internasional. Perkembangan hukum ekonomi internasional dewasa ini berlangsung sangat pesat sehingga membutuhkan penafsiran konstitusional yang dinamis pula. Sebagai contoh, forum penyelesaian sengketa di World Trade Organization (WTO) memiliki kewenangan untuk mengadili produk hukum suatu pemerintahan berdaulat. Dalam perkara Mobil Nasional yang diperiksa pada panel WTO misalnya (Indonesia v. Jepang, Uni Eropa, dan Amerika Serikat), Keputusan Presiden No. 42 tahun 1996 dinyatakan bertentangan dengan perjanjian WTO. Padahal, Keputusan Presiden tersebut memiliki karakter pengaturan yang mengikat warga negara secara umum (regeling). Pertanyaan konstitusionalnya kemudian adalah apakah Keputusan Presiden tersebut masih berlaku dalam sistem hukum di Indonesia?

Ketiga, bagaimana hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional dalam perspektif konstitusi? Berbagai permasalahan di atas akan dapat terjawab apabila terdapat suatu konsep hubungan yang jelas antara hukum internasional dengan hukum nasional: apakah keduanya merupakan satu kesatuan sistem hukum (monisme) atau terpisah (dualisme). Pun apabila dianggap sebagai dua sistem hukum yang berbeda, manakah yang lebih tinggi kedudukannya, hukum nasional atau hukum internasional? Mahkamah sendiri telah beberapa kali memanfaatkan hukum internasional sebagai landasan putusannya, misalnya dalam pengujian asas retroaktif pada UU tentang Tindak Pidana Terorisme; hak pilih dan dipilih mantan anggota PKI dalam UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPD; serta pemberian amnesti dalam UU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Mahkamah berdalil bahwa ketentuan-ketentuan hukum internasional yang dimanfaatkan adalah hukum kebiasaan internasional dan prinsip hukum yang diakui secara internasional.

Jika memang demikian, lalu dimana letak kedaulatan rakyat? Dapatkah keiinginan kolektif rakyat Indonesia dibatasi oleh prinsip internasional? Atau sebaliknya, mungkinkah konstitusi yang dibentuk secara demokratis membatalkan suatu ketentuan hukum internasional? Itulah pertanyaan yang harus dijawab dari kotak Pandora yang sudah terlanjur dibuka. Pertanyaan tersebut tidak hanya menarik untuk dikaji secara filosofis oleh ahli hukum saja, namun juga oleh siapapun karena sudah masuk pada tataran praktis yang menyangkut hak warga negara, kepentingan ekonomi, dan kesejahteraan rakyat.

READ MORE
Posted by Fiat Justitia at 1:12 PM 1 comments

Krisis Kedelai dan Hukum Internasional

by: M. Ajisatria Suleiman

Tidak banyak masyarakat yang mengaitkan krisis kedelai yang melanda Indonesia beberapa waktu lalu dengan sistem hukum internasional yang berlaku. Padahal hukum internasional di bidang perdagangan produk pertanian dewasa ini telah menjelma menjadi suatu regulasi yang sangat kompleks. Hukum internasional tidak lagi menjadi urusan para diplomat saja namun harus menjadi perhatian seluruh lapisan masyarakat. Berbagai pengaturan internasional ternyata berdampak langsung bagi kerugian petani kedelai dan produsen tahu-tempe di Indonesia.

Salah satu penyebab dasar krisis kedelai ini adalah ketergantungan yang sangat besar terhadap kedelai impor. Ketika harga kedelai di pasar komoditi dunia naik, Pemerintah Indonesia tidak kuasa menahan kenaikan harga kedelai di dalam negeri (Kompas, 17/01/08). Ketergantungan yang berlebihan terhadap produk impor ini sudah disadari Pemerintah membahayakan ketahanan pangan.

Dari kebutuhan kedelai nasional sekitar 1,8-2 juta ton, sekitar 60 persen dipenuhi dari impor. Produksi kedelai domestik terus mengalami tren penurunan, bahkan pada tahun 2003 produksinya hanya 671.600 ton. Bandingkan dengan tahun 1992 yang mencapai 1,8 juta ton (Sumber: Departemen Pertanian RI). Turunnya gairah petani untuk menanam kedelai tidak lain dipicu oleh masuknya kedelai impor dengan harga yang sangat murah.

Mengapa ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor menjadi sangat besar? Mengapa kedelai impor dapat masuk ke Indonesia dengan harga yang sangat murah? Jawabannya dapat dikembalikan kepada perubahan sistem pertanian dunia yang mengalami perubahan signifikan dengan berlakunya Perjanjian Pertanian World Trade Organization (WTO) yang disahkan pada tahun 1994. Indonesia sendiri meratifikasi perjanjian tersebut pada tahun yang sama.

Ketidakadilan Perjanjian Pertanian WTO
Sistem perdagangan yang diatur dalam Perjanjian Pertanian WTO dikritik oleh banyak pihak sebagai suatu ketidakadilan global (global injustice) yang hanya mementingkan kepentingan negara maju, termasuk pada sektor pertanian.

Perjanjian Pertanian WTO yang merupakan pondasi berlakunya liberalisasi pertanian sebenarnya memiliki tiga pilar utama: akses pasar (market access), dukungan domestik (domestic support), dan subsidi ekspor (export subsidy). Namun demikian, konsep liberalisasi ini hanya terfokus pada pilar pembukaan akses pasar yang menyebabkan kemudahan impor dan tarif bea masuk yang sangat murah. Hal ini yang kemudian memicu serbuan impor dan penurunan harga impor dari negara maju.

Sementara itu, pilar subsidi ekspor dan dukungan domestik diabaikan. Padahal melalui dua pilar inilah, negara maju melakukan subsidi yang berlebihan kepada petani mereka yang memiliki lahan yang lebih luas dan berpendapatan tinggi. Dengan pembukaan akses pasar yang tidak diikuti dengan penghapusan subisdi negara maju, pebisnis dari Amerika Serikat misalnya, dapat mengimpor kedelai yang umumnya hasil rekayasa genetika (genetically modified foods) dengan subsidi besar-besaran dari pemerintahnya sehingga menghasilkan harga yang sangat murah. Produk pertanian dari negara berkembang tidak akan mampu menyainginya.

Selain itu, perlakuan khusus (special and differential treatment) yang diperoleh negara berkembang ternyata dianggap tidak efektif dan kurang fleksibel (Apriantono: 2007, 454). Ekspor produk pertanian dari negara berkembang pun masih terbentur perjanjian WTO lainnya yaitu mengenai sanitary dan phytosanitary (SPS) yang mengatur standar kesehatan manusia, hewan, dan tanaman. Standar internasional demikian tentu sangat sulit dipenuhi oleh petani dari negara berkembang.

Alhasil, pasar pertanian negara maju relatif masih tertutup dari eskpor negara berkembang. Di sisi lain, negara maju sangat menikmati liberalisasi pertanian dengan terbukanya pasar negara berkembang. Dengan kata lain, hukum internasional disusun untuk menciptakan liberalisasi pertanian yang hanya menguntungkan negara maju, sementara negara berkembang hanya berperan sebagai penonton.

Ketidakadilan ini memicu diluncurkannya Putaran Pembangunan Doha tahun 2001 sebagai komitmen bersama negara maju dan negara berkembang untuk menjadikan perdagangan sebagai kunci dari pembangunan dan kesejahteraan. Putaran ini pun sempat nyaris gagal ketika tidak tercapai kesepakatan antara kedua kubu tersebut pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) di Cancun tahun 2003 dan di Hong Kong tahun 2005.

Reformasi Hukum Pertanian Internasional
Pengurangan subsidi negara maju menjadi fokus dari proposal amandemen Perjanjian Pertanian. Berkat kegigihan negara berkembang, pasca KTM Hong Kong beberapa negara maju sudah mengumumkan niatnya untuk menurunkan subsidi pertanian. Amerika Serikat menawarkan pemotongan total subsidi kepada petaninya yang termuat dalam amandemen farm bill yang sedang dibahas di Congress. Uni Eropa juga menawarkan pemotongan keseluruhan jumlah subsidinya sampai sekitar 70 persen. Pengurangan itu nampak sangat drastis, dua negara besar itu pun terlihat menunjukkan niat baik agar perundingan Putaran Doha berjalan kembali. Namun keadaan ini justru dapat membuat sulit posisi negara berkembang karena mereka juga dituntut untuk menurunkan tawarannya.

Indonesia sendiri menjadi motor dari kelompok G-33 yang memperjuangkan gagasan baru mengenai perlakuan khusus bagi negara berkembang. Gagasan tersebut tertuang ke dalam konsep Special Products (SP) yang menginginkan agar sejumlah produk pertanian memperoleh fleksibilitas penurunan tarif, dan Special Safeguard Mechanism (SSM) sebagai perlindungan sementara dari ancaman serbuan impor dan penurunan harga impor. Saat ini, proposal tersebut sudah mendapat dukungan dari Uni Eropa dan kelompok G-10 yang dipimpin Brazil.
Dengan mulai terlihatnya beberapa kesepakatan antara negara-negara peserta perundingan, bukan tidak mungkin Putaran Doha menyangkut perjanjian pertanian akan dapat diselesaikan.

Tantangan Indonesia
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum internasional telah mengatur sedemikian rumitnya sistem pertanian global yang memiliki dampak besar bagi Indonesia. Dengan semakin terkaitnya aktivitas ekonomi, hukum internasional harus menjadi aspek yang tidak boleh terlupakan dalam upaya untuk membangun pertanian Indonesia yang bertujuan untuk memacu pembangunan dan menciptakan kesejahteraan. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi diplomasi Indonesia dalam membentuk hukum yang berorientasi keadilan global. Namun demikian, penguatan kapasitas domestik harus menjadi fokus yang utama karena tanpanya, Indonesia tidak mungkin memiliki sesuatu untuk diperjuangkan pada fora internasional.

Semoga krisis kedelai ini dapat membuka kepedulian kita semua.

READ MORE
Posted by Fiat Justitia at 1:08 PM 0 comments

Isu-Isu Kehutanan dalam Perdagangan Internasional

by: M. Ajisatria Suleiman

Isu-isu kehutanan relevan untuk diperbicangkan dalam konteks perdagangan internasional karena beberapa alasan. Pertama, permintaan terhadap produk-produk kehutanan selalu meningkat. Meskipun demikian, perdagangan atas produk kehutanan tidak banyak yang diperdagangkan dalam pasar global dan hanya terfokus pada konteks regional sehingga diperlukan perluasan pasar. Kedua, produksi kehutanan yang berasal dari hutan tropis hanya memiliki porsi kecil dalam pasar global. Ketiga, negara berkembang hanya mendapat porsi kecil dalam pasar global. Pun negara berkembang ini hanya didominasi oleh Indonesia, Malaysia, dan Republik Rakyat Cina (RRC).

Sebagai hasil Putaran Uruguay dari World Trade Organization (WTO), produk kehutanan dikategorikan sebagai produk industri, sehingga tidak termasuk dalam Agreement on Agriculture. Meskipun demikian, terdapat beberapa pengaturan yang berlaku bagi produk kehutanan sebagaimana juga berlaku bagi produk pertanian, antara lain Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS Agreement) dan the Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT Agreement).

Beberapa isu yang menjadi perhatian dalam perdagangan internasional dalam kaitannya dengan produk kehutanan antara lain sebagai berikut.

Pertama, menyangkut tarif. Secara umum, tarif untuk produk kehutanan khususnya di negara maju sebenarnya tidak tinggi, yaitu sekitar 5 persen. Penurunan tarif difokuskan untuk beberapa pasar lain yang memberikan tarif sekitar 10-15 persen, terutama untuk produk seperti plywood. Namun sebenarnya banyak negara yang dapat menurunkan tarif di bidang kehutanan melalui langkah-langkah regional seperti ASEAN, NAFTA, dan juga dapat mendapatkan fasilitas yang diberikan kepada negara berkembang dengan General System of Preferences (GSP).

Kedua, menyangkut hambatan non-tarif atau Non-Tariff-Measures (NTMs). Beberapa NTMs yang dapat mempengaruhi perdagangan internasional atas hasil hutan antara lain:
a. Quantitive Restrictions, biasanya dengan penerapan kuota atas produk kehutanan. European Union, misalnya, menerapkan kuota untuk fibre-building boards, builders' woodwork dan beberapa produk furnitur.
b. Phytosanitary and technical regulations and standards. Standard dan pengaturan phytosanitary (kesehatan tanaman) biasanya diberlakukan atas dasar pertimbangan lingkungan hidup. Beberapa pengaturan yang mempengaruhi produk kehutanan antara lain: larangan panel kayu untuk menggunakan formaldehyde glues, yaitu gula yang dapat membahayakan kesehatan manusia; atau larangan untuk beberapa metode pengawetan kayu yang tidak ramah lingkungan hidup.
c. Export Restrictions, termasuk diantaranya pajak ekspor, larangan ekspor, dan pengaturan lainnya. Hambatan ekspor ini biasanya berlaku untuk produk seperti logs, sawnwood dan plywood. Hambatan eskpor biasanya diterapkan untuk menambah pemasukan negara dan melindungi industri dalam negeri.

Selain isu diatas, terdapat beberapa permasalahan yang perlu didiskusikan lebih jauh, yaitu mengenai trade impediments (hambatan perdagangan). Trade impediments adalah hambatan-hambatan yang legal berdasarkan ketentuan GATT-WTO, namun memiliki implikasi yang besar terhadap perdagangan produk kehutanan. Trade impediments biasanya berdasarkan atas motif perlindungan lingkungan hidup, dan tidak sedikit yang merupakan langkah sukarela sehingga tidak terkait dengan kebijakan negara. Beberapa contoh dapat diberikan sebagai berikut.

a. Hambatan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan berkelanjutan.
Negara dapat menetapkan kebijakan atas dasar perlindungan ekosistem hutan yang dapat menghambat perdagangan. Contoh yang diberikan antara lain metode pengangkutan, pengolahan, dan konsumsi produk kehutanan, energi yang digunakan dalam proses pengolahan, serta masalah pengelolaan polusi dan pembuangan limbah produksi. Permasalahan ini yang menjadi salah satu fokus pada WTO Comitte on Trade and Environment (CTE) terutama dalam upaya harmonisasi kebijakan tersebut dengan perjanjian TBT dan SPS.

b. Larangan yang dikeluarkan oleh pemerintahan daerah (local governments).
Kebijakan pemerintah daerah/negara bagian dapat mempengaruhi perdagangan produk kehutanan, sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Australia.

c. Sertifikasi produk kehutanan
Sertifikasi produk kehutanan banyak menuai isu, baik dalam kaitannya dengan perdagangan internasional atau dengan pembangunan berkelanjutan. Dengan sertifikasi produk kehutanan, setiap produk memiliki status yang menentukan negara asal produk tersebut. Sertifikat hanya diberikan atas produk kehutanan yang sah dan dikelola secara berkelanjutan. Tujuannya, pembeli hanya akan membeli produk yang memiliki sertifikat tersebut dan produk kehutanan yang tidak memiliki sertifikat patut dicurigai sebagai hasil aktivitas illegal logging.

Kontroversi timbul karena sertifikasi dapat menjadi hambatan perdagangan yang akan meningkatkan harga produk kehutanan. Produsen yang bergerak di bidang kehutanan juga belum dapat memahami batas-batas dan persyaratan untuk mendapatkan sertifikasi tersebut. Sementara itu, apabila sertifikasi dikeluarkan secara internasional, maka hanya negara maju yang mendapat keuntungan. Hal ini karena banyak negara berkembang yang belum tentu dapat memenuhi persyaratan sertifikasi yang diberikan.

d. Hambatan dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES)
CITES adalah perjanjian internasional yang mengandung pengaturan yang dapat menghambat aktivitas perdagangan internasional. Dalam CITES, setiap negara berhak untuk mengeluarkan ijin atas perdagangan spesies langka. Spesies langka ini dikategorikan menjadi tiga sebagaimana tercantum dalam tiga lampiran CITES, yaitu: Appendix I tentang essentially prohibits commercial trade, yaitu spesies yang secara mutlak tidak dapat diperdagangkan; Appendix II yang mensyaratkan pemberian ijin ekspor untuk perdagangan beberapa spesies langka; dan Appendix III yang juga mensyaratkan pemberian ijin ekspor dan sertifikat negara asal spesies (certificate of origin) untuk spesies-spesies tertentu. Aktivitas dari gerakan perlindungan lingkungan hidup adalah mencoba memasukan spesies-spesies ke dalam Appendix CITES sehingga menjadi produk kehutanan yang ilegal untuk diperdagangkan.

Berbagai permasalahan ini merupakan salah satu bukti sulitnya upaya harmonisasi antara perdagangan internasional dengan perlindungan lingkungan hidup. Salah satu isu yang menjadi perhatian dalam Konferensi Tingkat Menteri WTO di Seattle, 1999, adalah suara aktivis lingkungan hidup mengenai dampak-dampak negatif apabila diadakan liberalisasi perdagangan di bidang kehutanan. Penurunan tarif dan penghapusan hambatan perdagangan dapat menyebabkan deforestation yang akan banyak merugikan negara berkembang. Meskipun WTO sudah memiliki komisi khusus untuk membahas kedua sektor yang saling berkaitan ini, namun sangat sulit untuk dicapai penyelesaian.

READ MORE

Refleksi 60 Tahun Perdagangan Dunia dalam Laporan Tahunan WTO 2008

by: M. Ajisatria Suleiman

Pada 1 Januari 2008, sistem perdagangan internasional merayakan peringatan 60 tahun pembentukannya yang ditandai dengan lahirnya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada 1948. Dalam rangka memperingati momen tersebut, Laporan Perdagangan Dunia (World Trade Report) tahun 2008, yang dikeluarkan oleh World Trade Organization (WTO) membahas dengan dalam mengenai GATT dan WTO sebagai penerusnya. Pembahasan mencakup antara lain sejarah pembentukan, prestasi yang telah dicapai, tantangan yang telah dilalui, dan harapan di masa mendatang. Laporan tersebut dimaksudkan untuk menggambarkan perjalanan panjang organisasi GATT dan WTO, berbagai perubahan, dan adaptasi yang harus dilakukan oleh suatu sistem yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara global di era pasca Perang Dunia II yang mana sampai sekarang masih belum berhasil mencapai tujuannya dan bahkan menghadapi tantangan yang semakin berat.

Dalam melakukan refleksi atas sistem perdagangan yang diatur oleh WTO ini, Direktur Jenderal WTO, Pascal Lamy, menyatakan bahwa sistem perdagangan global telah menjadi sumber dari kesejahteraan, stabilitas, dan prediktabilitas selama enam dekade. Menurutnya, sistem perdagangan multilateral telah menyokong suatu periode dari pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi yang belum pernah terjadi pada periode sebelumnya di dunia, sehingga mampu meningkatkan pembangunan di banyak negara dan mengurangi kemiskinan. Namun demikian, diakui oleh Lamy bahwa GATT dan WTO belum menunjukan segenap peran dan fungsinya secara optimal, terutama bagi negara berkembang. Oleh karena itu, Lamy berharap beberapa bulan ke depan, WTO dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi negara anggota beserta masyarakatnya. Perkataan ini merujuk pada proses negosiasi ambisius dan berorientasi pada pembangunan yang bernama Putaran Pembangunan Doha (Doha Development Round) yang diharapkan dapat memperkuat sistem WTO guna mewujudkan dunia yang lebih sejahtera.
Laporan dimulai dengan latar belakang sejarah lahirnya GATT, termasuk penjelasan mengapa negara di dunia sepakat untuk menyatukan kepentingan perdagangannya ke dalam satu perjanjian, dilanjutkan dengan prestasi GATT/WTO selama enam dekade, dan diakhiri dengan pekerjaan rumah WTO yang perlu segera diselesaikan.

Menurut laporan ini, periode pertengahan dekade 1990an sebenarnya tidak mendukung kondisi untuk menciptakan kerja sama internasional. Perang Dunia yang baru saja berakhir membatasi kemampuan pemerintah dalam mengelola negara, menyulitkan terciptanya kerja sama internasional, terutama dalam mencapai kebijakan perdagangan global. Sistem perdagangan saat itu didominasi oleh pendekatan proteksionisme, diskriminasi, dan tensi politik yang tinggi. Oleh karena itu, sistem GATT yang dibentuk pada 1948 dianggap mampu menentang arus utama kebijakan pada saat itu karena mengedepankan stabilitas dan prediktabilitas.

Laporan ini juga menjabarkan tantangan yang dihadapi oleh sistem perdagangan internasional saat ini, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tantangan terdekat adalah bagaimana menutup perundingan perdagangan yang masih berlangsung sampai saat ini agar mampu menguntungkan setiap pihak yang terlibat dan juga memastikan posisi WTO dalam pengelolaan perdagangan internasional (international trade governance). Seiring dengan perubahan konstelasi kekuatan ekonomi dunia dan peralihan fokus dari masyarakat internasional, penulis Laporan mengajak pemerintah negara-negara anggota untuk merumuskan suatu alternatif yang mampu mengakomodasi seluruh kepentingan dalam sistem perdagangan internasional. Masa depan perdagangan internasional dianggapnya tergantung pada penghargaan (respect) dari setiap negara anggota terhadap WTO.

Dalam meninjau alasan yang mendorong negara anggota untuk bekerja sama dalam WTO, laporan ini mencantumkan perspektif pemikiran dari ahli ekonomi, ahli ekonomi politik, ahli hubungan internasional, dan juga ahli hukum. Berbagai alasan dikemukakan dari sudut pandang yang berbeda memberikan perpesktif yang segar dalam laporan ini. Ahli ekonomi misalnya, menekankan manfaat ekonomis dari liberalisasi perdagangan. Ahli ekonomi politik di sisi lain menekankan pada kepentingan politik yang mempengaruhi kerja sama internasional dan bagaimana komitmen internasional dapat mempengaruhi kekuatan pada ekonomi domestik. Ahli hubungan internasional lebih meninjau sistem perdagangan internasional dari pembagian kekuatan, konflik, dan gagasan yang timbul pada masyarakat internasional. Tidak tertinggal ahli hukum yang melihat WTO dari aspek perjanjian yang membentuknya yang dianggap sebagai “konstitusi internasional” dalam melindungi kepentingan publik dan membatasi peran negara. Kesimpulan yang didapatkan adalah bahwa motivasi untuk terlibat dalam perdagangan internasional adalah saling berbeda di antara negara-negara di dunia.

Kontribusi utama dari lembaga seperti WTO adalah mengurangi ketidakpastian dalam perdagangan internasional, memfasilitasi negosiasi, menyebarluaskan informasi, mengurangi biaya transaksi dalam berbagai cara, mengelola kesepakatan perdagangan, dan memantau kebijakan.

Laporan Perdagangan Dunia menunjukan bahwa sejak 1950, volume perdagangan dunia telah meningkat tujuh puluh lima kali, tiga kali lebih tinggi dari pertumbuhan output dunia (world output growth). GATT/WTO memang berhasil melakukan liberalisasi di bidang perdagangan, namun kesuksesan yang dicapai hanya terjadi di beberapa bidang saja. Liberalisasi pertanian diakui sebagai sektor yang paling menantang dan hasil yang dicapai masih sangat minim. Hambatan yang sama juga dicapai dalam liberalisasi atas produk yang menggunakan tenaga kerja intensif karena mendapatkan banyak hambatan di pasar global. Instrumen lain seperti perjanjian regional ternyata memiliki andil dalam mengurangi tarif dan hambatan perdagangan lainnya.

Satu hal yang sangat berkembang dari sistem perdagangan multilateral adalah mekanisme penyelesaian sengketa. Mekanisme penyelesaian sengketa dalam WTO menjadi forum yang sering digunakan dalam menyelesaikan masalah perdagangan, terutama sejak negara berkembang aktif berpartisipasi dalam forum ini. Dalam Putaran Uruguay tercapai kesepakatan untuk membentuk mekanisme penyelesaian sengketa yang belum pernah ada dalam hukum internasional sebelumnya, terutama dengan sistem adopsi kuasi-otomatik dari laporan panel dan pembentukan lembaga banding (Appellate Body) untuk melakukan legal review. Prosedur pelaksanaan putusan juga dirumuskan sehingga tidak terhambat oleh pihak yang kalah. Meskipun sebagian kasus yang diselesaikan berjalan dengan lancar, beberapa kasus yang mendapat perhatian (high-profile cases) mengalami kesulitan implementasi sehingga harus berujung pada tindakan retaliasi. Mekanisme baru ini pun dianggap mampu menyelesaikan sengketa dalam waktu yang singkat dan efektif.

Masih banyak tantangan yang harus dihadapi oleh sistem perdagangan multilateral selain menyelesaikan Putaran Doha, yakni yang berupa permasalahan sistematik yang telah menjadi isu sejak GATT/WTO pertama kali dibentuk. Dari segi organisasi, mekanisme pengambilan keputusan di WTO dikritik agar mampu menyeimbangkan kepentingan negara maju dan negara berkembang. Perdagangan di bidang jasa juga menjadi sorotan dari berbagai pihak terutama negara berkembang. Selain itu, isu lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan menjadi tantangan jangka panjang yang menjadi perhatian besar WTO, termasuk hubungan antara pemanasan global dan perdagangan internasional, serta pengelolaan energi di tingkat internasional.

READ MORE
Posted by Fiat Justitia at 1:02 PM 0 comments

PERKEMBANGAN PERJANJIAN PERTANIAN WTO

by: M. Ajisatria Suleiman

Dalam pertemuan keempat Konferensi Tingkat Menteri (KTM) World Trade Organization (WTO) di Doha, Qatar pada bulan November 2001, diadopsi sebuah agenda besar mengenai pembentukan putaran baru negosiasi perdagangan yang dikenal dengan nama Doha Development Round (DDR), atau Putaran Doha. Putaran Doha memiliki visi untuk membentuk konsep baru liberalisasi di bidang pertanian, tarif, jasa, rencana implementasi program, potensi reformasi dalam sistem penyelesaian sengketa, serta empat bidang yang disebut dengan ”Singapore Issues,” yaitu persaingan usaha, investasi, transparansi dalam pengadaan barang pemerintah, dan fasilitas perdagangan. Di antara topik-topik perundingan tersebut, perjanjian pertanian menjadi perhatian negara berkembang karena sektor ini menjadi pilar ekonomi di banyak negara berkembang.

Perundingan bidang pertanian ini berkaitan dengan hasil kesepakatan sebelumnya dalam Putaran Uruguay (1986-1994) yang membentuk WTO sekaligus membentuk perjanjian pertanian yang tercantum dalam WTO Agreement Annex 1A mengenai Multilateral Agreement on Trade in Goods. Perjanjian ini mempunyai tiga pilar utama, yaitu akses pasar, pengurangan dukungan domestik, dan pengurangan subsidi. Negara peserta perjanjian sepakat untuk meninjau kembali perjanjian ini, terutama yang berkaitan dengan akses pasar dan subsidi pertanian, dalam waktu enam tahun (10 tahun bagi negara berkembang) sejak perjanjian berlaku efektif pada tahun 1995. Namun, sejak tahun 1999, negara peserta sepakat untuk mempercepat peninjauan kembali tersebut sampai pada akhirnya dirundingkan dalam Putaran Doha.

Kegagalan Putaran Doha
Selanjutnya dalam KTM ke-5 di Cancun, Mexico pada bulan November 2003 direncanakan untuk dibentuk kesepakatan kerangka kerja (framework agreement) mengenai perundingan perjanjian pertanian, selain menentukan arah perundingan yang menyangkut Singapore Issues. Namun, para menteri gagal untuk mencapai kesepakatan dalam koferensi ini. Sejak itu, delegasi negara anggota mencoba membangkitkan kembali arah perundingan Putaran Doha dengan membuat dua framework agreement pada bulan Juli 2004 dalam bidang pertanian. Pertama menyangkut liberalisasi dari akses pasar serta penurunan bantuan domestik dan subsidi ekspor untuk produk pertanian. Sedangkan yang kedua menyangkut liberalisasi perdagangan untuk produk barang dan jasa nonpertanian. Tindak lanjut perundingan pertanian tetap tidak menemui titik temu dalam KTM ke-6 di Hong Kong, Cina 13-18 Desember 2005. Bahkan pada bulan Juli 2006, perundingan Putaran Doha terhenti sama sekali karena tidak tercapai kesepakatan antara negara-negara anggota.

Kegagalan KTM WTO dan forum lainnya menunjukan perbedaan pandangan yang tidak dapat disatukan di antara negara berkembang dan negara maju dalam menyikapi isu pertanian. Perjanjian pertanian WTO dianggap tidak mengakomodasi kepentingan petani miskin dan negara berkembang, sementara juga tidak memberikan solusi terhadap pembangunan masyarakat miskin dan masalah ketahanan pangan. Perjanjian ini semakin membatasi peran pemerintah dalam melindungi industri pertanian domestik (dimana pengaturan yang diberikan lebih mengikat negara berkembang dibandingkan terhadap negara maju) dan semakin membuka batas-batas negara dalam perdagangan produk pertanian. Oleh karena itu, revisi besar diperlukan untuk menciptakan perdagangan yang adil (fair trade) dan pemberian perlakuan khusus bagi negara berkembang. Permasalahan ini pula yang menyebabkan Putaran Doha belum dapat diselesaikan sampai sekarang, sedangkan batas waktu yang ditetapkan sudah terlewati.

Beberapa Subtansi Perdebatan
Sebagai contoh, komoditas pertanian dari negara maju disubsidi besar-besaran oleh pemerintah mereka kemudian dijual ke pasar global. Akibatnya, komoditas ini mampu diproduksi dibawah harga standar produksi dan mengakibatkan harga komoditas tersebut di pasar global turun. Hal ini menyebabkan produk pertanian di negara berkembang yang tidak memiliki sistem jaring pengaman (safety net) tersingkir dari pasar, dan para petani miskin pun semakin terjerumus dalam kemiskinan. Kebijakan pertanian negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa memang sampai saat ini masih memberikan subsidi yang tinggi untuk produk pertaniannya. Negara berkembang saat ini mengusulkan diberlakukannya mekanisme countervail (pajak impor yang dikenakan oleh suatu negara terhadap barang impor negara lain sebagai tindakan balasan karena negara yang memasok barang memberikan subsidi terhadap barang tersebut) yang sederhana terhadap produk pertanian dari negara maju untuk menyeimbangkan subsidi tersebut.

Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Oxfam,[1] negara maju memberikan banyak hambatan perdagangan (trade barriers) bagi produk pertanian negara berkembang, seperti kenaikan tarif (tariff escalation) dan standar impor yang ketat yang merugikan produk dari negara berkembang seperti gula dan cocoa. Permasalahan di luar liberalisasi pasar adalah rentannya (volatily) harga komoditas serta adanya kontrol monopolistik dari pasar global yang dilakukan oleh perusahaan besar dengan memperdagangkan produk pertanian dengan harga sangat rendah.

Negara berkembang juga mengusulkan fleksibilitas kebijakan dalam perjanjian pertanian dalam rangka memenuhi ketahanan pangannnya. Kebijakan ini antara lain instrumen yang mengijinkan negara berkembang melindungi pasar domestiknya dari kenaikan tingkat impor, membentuk program dukungan domestik (domestic support program) untuk meningkatkan kapasitas petani miskin, dan mengecualikan beberapa produk pertanian yang vital bagi kehidupan ekonomi petani miskin. Namun proposal ini mendapat tentangan dari negara maju.

Menyelesaikan Kebuntuan Putaran Doha
Adanya kebuntuan (deadlock) dalam perundingan Putaran Doha, khususnya menyangkut perjanjian pertanian tidak dapat diselesaikan apabila antara negara maju dan negara berkembang tetap dalam posisinya masing-masing. Namun peran yang besar berada pada negara maju, terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa, yang memegang kunci penting dalam pengambilan keputusan agar dapat menyelesaikan putaran ini. Negara maju harus memperbaiki proposal mereka yang mengakomodasi kepentingan negara berkembang.

Susan Schwab, perwakilan perdagangan AS untuk Uni Eropa, mengatakan bahwa saat ini antar negara sudah mulai dilakukan perbincangan bilateral untuk membahas isu-isu mengenai perjanjian pertanian.[2] Langkah ini dapat menjadi awal disepakatinya isu pertanian dalam Putaran Doha. Perbincangan tersebut dimaksudkan untuk menyiapkan posisi pada perundingan pertanian informal yang dilakukan pada 27 Januari di sela-sela acara World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss pada 24-28 Januari 2007. Ketua kelompok negara berkembang G-33 yang juga Menteri Perdagangan Indonesia, Marie Elka Pangestu, mengatakan bahwa dalam pertemuan Davos tersebut peran Amerika Serikat sangat vital untuk menentukan keberlangsungan Putaran Doha.[3]

Menanggapi hal ini, beberapa negara maju sudah mengumumkan niatnya untuk menurunkan subsidi pertanian. Misalnya Amerika Serikat menawarkan pemotongan total subsidi pertanian kepada petaninya, kabarnya, turun ke angka $ 15 milyar dolar dalam amandemen farm bill yang sedang dibahas di Congress. Uni Eropa juga menawarkan pemotongan keseluruhan jumlah subsidinya sampai sekitar 70 persen. Pengurangan itu nampak sangat drastis, dua negara besar itu pun terlihat menunjukkan niat baik agar perundingan Putaran Doha berjalan kembali. Namun keadaan ini justru membuat sulit posisi negara berkembang karena mereka juga dituntut untuk menurunkan tawarannya misalnya dengan memperlemah proposal pada kelompok Negara G33. Apabila kelompok-kelompok negara berkembang itu menolak, maka AS dan UE bisa mengumumkan bahwa Negara-negara berkembang itulah menyebabkan perundingan terhenti. Beberapa pihak justru menganggap langkah yang dilakukan oleh AS dan UE tersebut patut diwaspadai karena belum tentu sepenuhnya menguntungkan kepentingan negara berkembang.

Sebagaimana tercantum pada Komunike Negara G-33 yang dikeluarkan sebagai hasil pertemuan yang dilangsungkan pada 21 Maret 2007 di Jakarta, negara berkembang pada dasarnya menyambut baik komitmen politik yang diberikan, terutama oleh AS, dalam menyikapi kebuntuan perundingan ini. Dalam pertemuan yang dilakukan untuk menyatukan visi dalam lanjutan Putaran Doha di Geneva pertengahan 2007 ini, G-33 juga memberikan perhatian yang besar terhadap indikator yang transparan dengan pendekatan rasional dan sederhana dalam menentukan kriteria komoditas yang masuk dalam special products (SP). Sementara itu, Uni Eropa dan G-10 yang dimotori Brasil sepakat untuk mendukung keputusan kelompok G-33 untuk menyampaikan posisinya menyangkut mekanisme Special Products (SP)/ Special Safeguard Mechanism (SSM) secara lebih jelas dan transparan dalam perundingan Putaran Doha, sebagaimana telah disepakati dalam KTM di Hong Kong.

Dengan mulai terlihatnya beberapa kesepakatan antara negara-negara peserta perundingan, bukan tidak mungkin Putaran Doha menyangkut perjanjian pertanian akan dapat diselesaikan. Apalagi untuk beberapa bidang pembahasan lain dalam Putaran Doha, misalnya mengenai amandemen perjanjian Trade Related Aspects on Intellectual Property Rights sudah tercapai kesepakatan. Situasi demikian dapat dijadikan pemicu bagi masing-masing negara untuk meninjau kembali tuntutannya demi terselesaikannya perundingan pertanian. Meskipun demikian, titik berat perundingan tetap harus diletakan pada kepentingan negara berkembang mengingat pengaturan pertanian selama ini cenderung merugikan negara berkembang. Apalagi, konsep utama Putaran Doha adalah ”Putaran Pembangunan” (Development Round) sehingga orientasi pemerataan pembangunan melalui penghilangan kesenjangan antara negara maju dan negara berkembang harus menjadi fokus. Selain itu, hasil Putaran Doha, khususnya bidang pertanian, harus selalu mengacu pada pemenuhan target Millenium Development Goals (MDGs), sehingga ketahanan pangan dan penghapusan pemiskinan, terutama bagi petani miskin, harus lebih diperhatikan dalam perundingan pertanian di WTO.


[1] http://www.globaljust.org/news_detail.php?catagori=&id=91
[2] http://useu.usmission.gov/Article.asp?ID=C53747E6-2EC1-4954-8064-40586E9CBAFB
[3] http://perpustakaan.bappenas.go.id/pls/kliping/data_access.show_file_clp?v_filename=F12599/%20Pertemuan%20menteri-BI.htm

READ MORE
Posted by Fiat Justitia at 12:48 PM 0 comments

Putaran Doha dan Ancaman Pemanasan Global

by: M. Ajisatria Suleiman



Akhir 2007 merupakan momentum untuk meningkatkan kesadaran global mengenai bahaya pemanasan global yang mengancam dunia. Konferensi Perubahan Iklim digelar di Bali, pada 8-9 Desember 2007 dengan diamati oleh seluruh elemen masyarakat guna memberikan hasil yang maksimal dan memberikan solusi yang optimal bagi kesepakatan-kesepakatan yang akan tercapai. Perang melawan pemanasan global membutuhkan berbagai pendekatan, termasuk dari aspek perdagangan internasional. Dari hal ini, organisasi perdagangan dunia, World Trade Organization (WTO), dapat menunjukan perannya.


Direktur-Jenderal WTO, Pascal Lamy, dalam pidatonya pada Dialog Informal Menteri Perdagangan, Konferensi Perubahan Iklim di Bali, Desember 2007, menyatakan bahwa perundingan Putaran Doha mengenai perdagangan barang dan jasa lingkungan hidup dapat memberikan kemenangan ganda (double win) bagi negara anggota WTO, kemenangan bagi lingkungan hidup, dan kemenangan bagi perdagangan. Lamy menyatakan bahwa regulasi WTO dapat membuktikan fungsinya yang menentukan dalam melawan pemanasan global, namun dibutuhkan konsensus global tentang bagaimana cara melawan permasalahan bersama tersebut.
Persimpangan isu antara pemanasan global dan perdagangan internasional dapat timbul melalui berbagai macam pendekatan. Meskipun WTO tidak memiliki aturan yang secara khusus mengenai energi, lingkungan hidup, ataupun pemanasan global per se, namun tidak dapat dipungkiri bahwa hukum perdagangan internasional relevan dalam membahas pemanasan global.


Sistem perdagangan multilateral dianggap memiliki peran yang cukup signifikan dalam menghadapi pemanasan global. Beberapa pihak berpendapat bahwa sistem ini dapat mengatur karbon yang dihasilkan oleh emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam proses produksi, transportasi internasional, dan konsumsi berbagai barang dan jasa. Sementara itu, pihak yang lain berpendapat bahwa sistem perdagangan multilateral dapat ‘menyeimbangkan’ kerugian yang diderita akibat menangani pemanasan global. Secara lebih spesifik, ada gagasan untuk mengenakan biaya ekonomi atas produk yang diimpor ke suatu negara seimbang dengan biaya yang dikeluarkan dalam mengatur emisi negara tersebut.


Tentu saja masih terdapat beragam ide lain mengenai cara menyeimbangkan langkah-langkah yang dilakukan dalam mengatasi pemanasan global, termasuk diskusi mengenai sektor ekonomi yang paling banyak volume perdagangannya dan membutuhkan energi yang besar seperti produksi besi dan baja. Dalam membahas isu ini, gagasan yang dilontarkan berkisar antara pengenaan pajak karbon baik domestik maupun yang terkait dengan perdagangan internasional seperti sistem cap-and-trade yang melibatkan juga importir. Gagasan lainnya juga adalah dengan meningkatkan perdagangan ‘barang dan jasa lingkungan hidup’ yang relevan dengan pemanasan global melalui Putaran Doha. Mayoritas dari ide tersebut adalah pengenaan pajak dalam transaksi transnasional, namun ada juga yang merumuskan konsep untuk menghindari pemanasan global melalui regulasi subsidi dan bahkan hak kekayaan intelektual.


Namun demikian, untuk merumuskan konsep hukum perdagangan internasional dalam menangani pemanasan global terlebih dahulu dibutuhkan kesamaan paham dari negara-negara di dunia mengenai cara mengatasi pemanasan global, termasuk negara-negara industri yang tergabung dalam Annex I Konvensi Perubahan Iklim. Tanpa adanya kesatuan pandangan dasar secara konsensual dari negara-negara tersebut, akan sangat sulit tercapai mekanisme perdagangan internasional yang diterima oleh seluruh pihak.


Regulasi perdagangan tidak dimaksudkan untuk menggantikan regulasi lingkungan hidup. Oleh karena itu, regulasi dari Perjanjian WTO beserta lampirannya dimaksudkan hanya menjadi salah satu solusi dari kerangka besar upaya mengatasi pemanasan global. Forum WTO bukanlah forum utama dalam menyelesaikan pemanasan global, yang mana forum yang tepat adalah forum lingkungan hidup seperti United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Dari perjanjian semacam itu baru kemudian diberikan kerangka dasar pembangunan berkelanjutan yang kemudian menjadi acuan bagi sistem perdagangan internasional pada WTO.
Tanpa adanya kerangka yang diberikan forum lingkungan hidup tersebut, maka akan timbul kebingungan dalam merumuskan respon dari sistem perdagangan multilateral. Kerangka dalam perjanjian lingkungan hidup multilateral lah yang akan memandu perjanjian lain seperti WTO maupun aktor-aktor ekonomi lainnya dalam mengatasi eksternalitas negatif yang timbul dari kerusakan lingkungan hidup. Berdasarkan perjanjian tersebut, akan dinilai apakah suatu tindakan perdagangan atau langkah-langkah ekonomi yang ditempuh suatu negara dapat dijustifikasi dari sudut pandang perlindungan lingkungan hidup.


Dalam mewujudkan sistem yang menunjung kesepakatan mengenai perubahan iklim, setiap negara harus merefleksikan peran perdagangan internasional dalam kesepakatan tersebut. Perdagangan dapat mewujudkan keuntungan karena efisiensi, yakni menciptakan spesialisasi produksi di antara negara-negara di dunia. Perdagangan internasional juga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang mana dapat meningkatkan kemungkinan suatu negara meningkatkan investasinya dalam pencegahan polusi, andai saja terdapat kemauan politik dari negara tersebut. Agar gagasan tersebut dapat diwujudkan, harus dibangun terlebih dahulu paradigma perlindungan lingkungan hidup yang kemudian akan menjadi pondasi bagi sistem perdagangan.


Dengan kata lain, regulasi dalam WTO tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu alat dalam mengatasi pemanasan global. Regulasi dalam WTO mengatur mengenai standar produk, yang mana terdapat suatu standar internasional mengenai suatu produk. Selain itu, WTO juga mengatur subsidi, pajak, hak kekayaan intelektual, dan aspek-aspek lainnya. Seluruh regulasi tersebut dapat membantu mengurangi pemanasan global sepanjang terdapat suatu parameter lingkungan hidup atas peran instrumen tersebut.


Parameter demikian yang harus ditentukan oleh masyarakat lingkungan hidup, bukan masyarakat perdagangan. Tanpa adanya parameter tersebut, pengaturan yang terdapat dalam WTO akan menjadi tarik ulur kepentingan politik dari negara-negara anggotanya karena setiap negara dapat memiliki interpretasi tertentu terhadap suatu tujuan perlindungan lingkungan hidup. Pada akhirnya, baik tujuan perlindungan lingkungan hidup maupun tujuan perdagangan tidak akan tercapai.


Telah dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu ide mengenai peran WTO adalah membuka pasar atas produk ramah lingkungan dan jasa perlindungan lingkungan hidup. Perundingan Doha misalnya menawarkan untuk meningkatkan akses terhadap produk seperti scrubbers, air filter, atau jasa pengelolaan energi. Namun sebagaimana sudah diduga, sangat sulit untuk menentukan kategori barang dan jasa yang termasuk dalam kategori bidang lingkungan hidup. Menurut ahli ekonomi, pasar global mengenai barang dan jasa bidang lingkungan hidup diperkirakan berjumlah 550 miliar dollar setiap tahunnya. OECD memperkirakan bahwa 65 persen dari jumlah tersebut terkait dengan jasa lingkungan hidup, sementara sisanya (35 persen) adalah produk lingkungan. Berdasarkan jumlah tersebut, industri barang dan jasa yang berkembang dalam rangka mengurangi efek pemanasan global memiliki proporsi yang cukup besar.
Dalam konteks Putaran Pembangunan Doha bagian perlindungan lingkungan hidup, yang di dalamnya tercakup materi subsidi pertanian dan pencarian hubungan antara regulasi WTO dengan perjanjian lingkungan hidup multilateral, negosiasi mengenai barang dan jasa lingkungan, dapat berbuah kemenangan ganda bagi perdagangan maupun lingkungan hidup. Sebagai contoh, liberalisasi jasa ini dapat menguntungkan Indonesia dua kali lipat sebagai salah satu eksporter steam condensers terbesar di dunia. Sementara itu, keuntungan serupa bisa didapatkan India yang mengekspor turbin hidrolik; Malaysia yang mengekspor photovoltaic cells; atau Thailand yang mengekspor mesin penyaring dan penjernih gas.


Kesempatan untuk membuka sektor barang dan jasa lingkungan hidup sangat terbuka di Putaran Doha. Namun dalam melakukan hal ini, sebelumnya perlu terdapat suatu perjanjian internasional yang mendorong permintaan atas barang dan jasa tersebut. Misalnya kesepakatan untuk mengurangi emisi GRK dapat mendorong pemanfaatan teknologi ramah lingkungan, dan dengan demikian perdagangan atas barang dan jasa ramah lingkungan akan meningkat. Apabila akses pasar atas barang dan jasa tersebut dibuka, maka manfaatnya tentu akan semakin berlipat. Berdasarkan contoh di atas terlihat bahwa harus terdapat parameter atau kerangka lingkungan hidup yang jelas untuk kemudian regulasi perdagangan internasional akan mendukungnya.

READ MORE